Kapan Orang Yang Bepergian Dengan Pesawat Boleh Berbuka?

2 menit baca
Kapan Orang Yang Bepergian Dengan Pesawat Boleh Berbuka?
Kapan Orang Yang Bepergian Dengan Pesawat Boleh Berbuka?

Pertanyaan

Dua penduduk Dammam naik pesawat dari bandara Dhahran. Semua penumpang lepas landas sepuluh menit sebelum matahari terbenam pada bulan Ramadhan menuju Jazan, dengan ketinggian terbang sekitar 29.000 kaki dari permukaan bumi.

Setelah lewat tiga puluh lima menit, pesawat mengudara di langit Riyadh. Saat itu penduduk Riyadh telah berbuka, sedangkan para penumpang pesawat masih melihat matahari kurang lebih seperempat jam lamanya.

Apakah para penumpang pesawat dan lainnya boleh berbuka (mengikuti penduduk Riyadh yang tidak terbang)? Berilah kami fatwa. Semoga Allah memberi pahala kepada Anda.

Jawaban

Pada dasarnya, yang berlaku bagi setiap orang dalam menahan puasa, berbuka, dan menentukan waktu shalat, adalah hukum di bumi (darat) atau di udara tempatnya berada. Jika seseorang telah mendapati terbenamnya matahari di bandara Dhahran, misalnya, lantas dia berbuka atau shalat Magrib.

Kemudian pesawat yang dia naiki bertolak ke arah barat dan matahari masih terlihat (belum terbenam), maka dia tidak wajib menahan diri (dari makan, minum, dan membatalkan puasa hingga terbenam di tempat dia berada). Dia juga tidak perlu mengulang shalat Magrib. Sebab, waktu berbuka atau shalat mengikuti hukum di bumi tempat dia berada.

Apabila pesawat lepas landas beberapa menit sebelum matahari terbenam dan siang pun berlanjut bersamanya, maka dia tidak boleh berbuka atau shalat Magrib hingga matahari terlihat terbenam, sekalipun dia terbang melewati langit yang penduduknya telah berbuka dan telah shalat Magrib, jika saat di udara dia masih melihat matahari.

Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam pertanyaan, mengenai dua orang yang berada di atas langit Riyadh ketika masuk waktu berbuka di darat, sedangkan penumpang pesawat masih menyaksikan matahari sehingga tetap berpuasa. Inilah kandungan dari dalil-dalil syar’i berikut. Allah Ta`ala berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah : 187)

Allah juga berfirman,

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Israa’ : 78)

Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda,

إذا أقبل الليل من ها هنا، وأدبر النهار من ها هنا، وغربت الشمس؛ فقد أفطر الصائم

“Apabila malam telah datang dari batas ini, siang telah menyingkir dari batas ini, dan matahari telah terbenam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.”

Namun, jika mendarat di tempat yang telah terbenam matahari, maka konsekuensi yang mereka terima sama dengan penduduk setempat dalam puasa dan shalat, selama mereka berada di sana.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 2254

Lainnya

Kirim Pertanyaan