Makna Jihad Pada Diri Sendiri Dan Jihad Di Jalan Allah

8 menit baca
Makna Jihad Pada Diri Sendiri Dan Jihad Di Jalan Allah
Makna Jihad Pada Diri Sendiri Dan Jihad Di Jalan Allah

Pertanyaan

Apakah kata “jihad” dan “fi sabilillah” yang ada di dalam Alquran al-Karim hanya memiliki arti perang? Apakah benar tidak ada yang namanya jihad nafs (jihad pada diri sendiri)?

Apakah jihad pada diri sendiri sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat kembali dari perang Tabuk sebaiknya tidak dijadikan landasan karena kualitasnya daif?

Adakah yang dapat memberi keterangan mengenai terminologi “jihad” atau “jalan Allah” berdasarkan perspektif hadis-hadis Nabi?

Jawaban

Pertama, telah diterbitkan keputusan dari Dewan Ulama Senior di Kerajaan Saudi mengenai maksud dari firman Allah Ta’ala,

وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Ini merupakan penggalan dari ayat yang menjelaskan mengenai para penerima zakat. Isi keputusannya sebagaimana berikut:

Keputusan Nomor: 24, Tanggal 12/8/1394 H
Segala puji hanya milik Allah. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad, yang tidak ada nabi setelah beliau, juga untuk keluarga dan sahabat beliau.

Adapun selanjutnya: Dewan Ulama Senior telah membahas dalam pertemuan rutinnya yang kelima, yang diselenggarakan di kota Thaif mulai tanggal 5/8/1394 H s.d. tanggal 22/8/1394 H.

Ini diselenggarakan oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa, untuk membahas mengenai maksud dari firman Allah pada ayat tentang orang-orang yang berhak menerima zakat,

وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Apakah maksudnya para mujahid di jalan Allah dan kebutuhan mereka, ataukah berlaku umum pada segala macam aktifitas kebaikan? Para ulama telah membahas dan menelaah semua pendapat para ulama dalam masalah ini.

Mereka juga mengkritisi argumen dari beberapa orang yang menafsirkan bahwa maksud dari “fi sabilillah” di dalam ayat tersebut adalah “para mujahid dan kebutuhan mereka”, serta argumen orang yang memperluas pemahaman dari ayat tersebut bahwa itu tidak hanya terbatas pada para mujahid perang, namun juga mencakup pembangunan masjid, waduk (penampungan air), pendidikan, pengiriman da’i, dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Mayoritas anggota majelis memutuskan untuk mengambil pendapat jumhur ulama dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fikih bahwa maksud firman Allah Ta’ala

وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Adalah para mujahid yang terjun ke medan peperangan dan berbagai perbekalan mereka. Jika para mujahid seperti ini tidak ada, maka semua bagian zakatnya diberikan kepada golongan lain yang berhak menerima.
Tidak boleh memberikannya sedikit pun untuk pembangunan sarana umum, kecuali tidak ditemukan fakir miskin dan golongan lain yang berhak menerima zakat seperti tertera dalam Alquran.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘Ala Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Dewan Ulama Senior

Pendapat lain mengenai maksud dari firman Allah Ta’ala

وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad, yang tidak ada nabi setelahnya, juga untuk keluarga dan shahabat beliau. Adapun selanjutnya,

Kami telah mempelajari pendapat para ulama dalam firman Allah Ta’ala,

وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Dari ayat

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin” (QS. At-Taubah : 60)

Kami juga telah menelaah ketiga pendapat mengenai maksud “fi sabilillah”, dengan masing-masing dalilnya. Akhirnya kami berkesimpulan bahwa maksud “fi sabilillah” dalam firman Allah Ta’ala

وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Mencakup seluruh sektor kebaikan, namun yang paling utama adalah jihad di jalan Allah. Ini berdasarkan poin-poin berikut:

1. Redaksinya bersifat umum, maka tidak boleh dibatasi dengan menetapkan sebagian dan menolak sebagian yang lain, kecuali jika ada dalil yang menerangkannya. Sedangkan pada pembahasan ini, tidak ada dalil yang membatasinya. Adapun mengenai hadits Atha’ bin Yasar

لا تحل الصدقة لغني إلا لخمسة..

“Tidaklah halal harta zakat (jika diberikan) kepada orang yang kaya, kecuali untuk lima golongan…”

Dia menyebutkan bahwa di antaranya adalah “Mujahid di jalan Allah”. Keterangan ini mengindikasikan bahwa sabilillah adalah perang, sehingga pendapat ini tidak benar. Sebab, hadits tersebut hanya menunjukkan bahwa seorang mujahid diberi bagian sabilillah meskipun dia orang kaya. Padahal, yang disebut sabilillah itu jumlahnya banyak, tidak terbatas pada peperangan saja.

2. Ada beberapa hadits dan atsar yang menerapkan secara umum makna firman Allah Ta’ala

وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Dalam hadits dijelaskan bahwa haji dan umrah merupakan bentuk dari “sabilillah”, seperti yang termaktub dalam hadits Abu Las, hadits Ummu Ma`qil, dan hadits Ibnu Abbas. Dalam hadits tersebut disebutkan, “Jika kamu menunaikan haji untuknya, maka itu di jalan Allah (sabilillah).”

Ada sebagian atsar dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menganggap bahwa haji merupakan amal di jalan Allah. Abu Ubaid menyebutkan di dalam kitabnya,”al-Amwal”, dengan sanad yang bersambung kepada Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma yang mengatakan bahwa tidak apa-apa jika seseorang memberikan zakat mal-nya untuk biaya perjalanan haji (orang lain).

Ada pula atsar yang disebutkan oleh Abu Ubaid dengan sanad sahih kepada Ibnu Umar, bahwa dia pernah ditanya mengenai seorang wanita yang berwasiat tiga puluh dirham di jalan Allah. Ibnu Umar ditanya, “Apakah boleh digunakan untuk bekal haji?”

Ibnu Umar menjawab, “Haji adalah amal saleh di jalan Allah.” Disebutkan pula oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa Abdurrahman bin Abi Ni`am berkata, “Saya pernah duduk bersama Abdullah bin Umar, lalu datang seorang wanita seraya berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya suamiku telah berwasiat agar hartanya digunakan di jalan Allah.’

” Di dalam riwayat tersebut disebutkan, “Ibnu Umar pun memerintahkan wanita itu agar memberikan harta wasiat suaminya kepada orang-orang saleh untuk digunakan sebagai biaya perjalanan ibadah haji ke Baitullah al-Haram, karena mereka adalah utusan Allah, mereka adalah utusan Allah, mereka adalah utusan Allah.”

Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengajarkan bahwa menebar kasih sayang antar Muslim, menentramkan perasaan mereka, dan menjaga hak mereka merupakan amal saleh di jalan Allah. Di dalam Shahih Bukhari “Bab al-Qasamah”, beliau berkata, “Telah berkata kepada kami Abu Nu`aim, dari Said bin Ubaid, dari Basyir bin Yasar

زعم أن رجلاً من الأنصار يقال له: سهل ابن أبي حثمة، أخبره أن نفرًا من قومه انطلقوا إلى خيبر، فتفرقوا فيها، ووجدوا أحدهم قتيلاً، وقالوا للذي وجد فيهم: قتلتم صاحبنا، قالوا: ما قتلنا ولا علمنا قاتلاً، فانطلقوا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالوا: يا رسول الله، انطلقنا إلى خيبر فوجدنا أحدنا قتيلاً، فقال: الكبر الكبر فقال لهم: تأتون بالبينة على من قتله؟، قالوا: ما لنا بينة، قال: فيحلفون، قالوا: لا نرضى بأيمان اليهود، فكره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبطل دمه، فوداه مائة من إبل الصدقة

“Yang mengira bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar bernama Sahl bin Abi Hatsmah memberitahunya mengenai beberapa orang dari kaumnya yang pergi ke Khaibar. Mereka berpencar di medan Khaibar dan mendapati salah seorang dari mereka terbunuh. Lantas mereka berkata kepada kerumunan orang di tempat ditemukannya jenazah tersebut, “Kalian telah membunuh teman kami.” Mereka menjawab, “Kami tidak membunuhnya dan tidak mengetahui siapa pembunuhnya.” Mereka pun pergi menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami ke Khaibar lantas kami mendapati salah seorang dari kami terbunuh.” Beliau bersabda, “Dosa besar. Dosa besar.” Beliau juga bersabda kepada mereka, “Kalian harus membawa bukti yang menunjukkan pembunuhnya.” Mereka berkata, “Kami tidak mempunyai bukti.” Beliau bersabda: “Kalau begitu hendaknya mereka bersumpah.” Mereka menjawab, “Kami tidak rela menerima sumpah kaum Yahudi.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menginginkan darah orang yang meninggal tersebut sia-sia, maka beliau pun membayar diyat (denda) atas nama pembunuhnya sebanyak seratus ekor unta zakat.”

Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam riwayat Ibnu Abi Laila disebutkan, “… maka Nabi membayar diyat dari harta beliau sendiri.” Sebagian ulama memadukan dua riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa maksud dari kata “min ‘indihi” (dari harta beliau) adalah baitul mal yang disediakan untuk kemaslahatan.

Ibnu Hajar berkata, ‘Sebagian ulama memahaminya secara zahir (literal).’ Qadhi Iyadh meriwayatkan dari sebagian ulama mengenai kebolehan mendistribusikan zakat untuk kepentingan umum. Dia berdalil dengan hadits ini dan lainnya. Saya (Ibnu Hajar) katakan bahwa masalah itu telah diulas dalam pembahasan zakat. Adapun pembahasan mengenai hadits Abu Las, dia berkata,

حملنا النبي صلى الله عليه وسلم على إبل الصدقة في الحج

“Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengantar kami ketika pergi haji dengan menggunakan unta zakat.”

Berdasarkan ini, maka maksud dari “‘indihi” (harta beliau) adalah harta tersebut berada di dalam kontrol dan wewenang beliau, serta untuk menjaga agar diyatnya tidak dari orang-orang Yahudi atau selain mereka.

Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya “al-Mufhim”, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal itu karena kedermawanan, siasat politik, menarik kemaslahatan, dan mencegah kerusakan, dalam rangka meluluhkan hati orang-orang Yahudi. Apalagi saat itu sulit untuk menyingkap kejadian yang sesungguhnya. ”

Imam Nawawi saat mensyarahi hadits al-qasamah mengatakan bahwa Imam Abu Ishaq al-Marwazi dari kelompok beliau (kalangan Syafi’iyyah) menyatakan, “Boleh menggunakan unta zakat untuk keperluan membayar diyat (denda) berdasarkan hadits ini.” Dengan begitu, Imam Abu Ishaq mengambil hukum secara tekstual dari nas hadits tersebut.”

Abdullah bin Abbas radhiyallahu `anhuma berpandangan bahwa boleh memerdekakan budak dengan menggunakan harta zakat. Di dalam Shahih Bukhari, dalam bab firman Allah Ta’ala,

وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang dan untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah : 60)

Ada riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma yang menyatakan bahwa dia pernah memerdekakan budak dengan uang zakat mal-nya kepada seseorang sebagai biaya perjalanan ibadah haji. Kemudian dia membaca ayat ,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir” (QS. At-Taubah : 60)

Golongan mana saja (dari para penerima zakat) yang kamu beri maka itu sudah cukup menggugurkan kewajiban zakatmu.” Ibnu Hajar berkata, “Dilanjutkan oleh Abu Ubaid di dalam kitabnya, “al-Amwal”, dari jalur Hassan bin Abi al-Asyras, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang berpendapat bahwa tidak masalah jika memberikan zakat mal kepada seseorang untuk menunaikan ibadah haji dan memerdekakan budak. Dari Abu Bakar bin `Ayyasy, dari al-A`masy, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Merdekakanlah budak dari zakat mal yang harus engkau tunaikan.”

3. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan huruf min (من) tab’idhiyyah (untuk menunjukkan makna sebagian) pada hadits riwayat Ma`qil dalam sabda beliau,

فإن الحج من سبيل الله

“… karena sesungguhnya haji itu termasuk bagian dari jalan Allah.”

Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud “sabilillah” dalam ayat mengenai zakat tersebut bersifat umum, mencakup beberapa perbuatan dimana haji masuk dalam kategorinya. Senada dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Ibnu Umar mengatakan mengenai haji, “Haji termasuk fi sabilillah (di jalan Allah).”

Berdasarkan hal itu, maka pandangan kami terangkum sebagaimana berikut:

Dengan tetap menjaga untuk tidak mengurangi jatah para penerima zakat yang lain, maka bagian sabilillah mencakup seluruh hal-hal yang baik secara umum. Prioritasnya adalah untuk mempersiapkan perang melawan musuh-musuh Islam dengan membeli senjata dengan segala macamnya, mempersiapkan para mujahid, mencukupi logistik mereka, dan lain sebagainya, jika dana yang ada di baitul mal tidak mencukupi untuk memenuhi hal itu. Termasuk di antara kepentingan umum yang paling utama adalah mengirimkan para da’i untuk menyebarkan agama Islam, menjelaskan hukum-hukum, memberantas penyeru kesesatan, atheisme, dan aliran-aliran yang menghancurkan nilai-nilai Islam.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Muhammad al-Harakan Shalih bin Ghushun Abdullah bin Mani` Abdul Aziz bin Shaleh Abdul Majid Hasan Abdullah bin Khayyath

Kedua, Jihad pada diri sendiri–yaitu dengan menggerakkan diri mengerjakan segala perintah Allah dan menahannya dari segala yang dilarang– adalah disyariatkan.

Namun, pernyataan bahwa jihad pada diri sendiri itu merupakan jihad akbar (besar) sedangkan memerangi kaum kafir itu merupakan jihad ashghar (kecil) adalah tidak benar, dan kualitas haditsnya tidak sahih. Wallahu A`lam.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 9105

Lainnya

Kirim Pertanyaan