Puasa Dan Haji untuk Meng-qadha Tanggungan Orang-orang Yang Sudah Meninggal |
Pertanyaan
Apakah mewakili puasa orang yang sudah meninggal dunia namun masih memiliki utang dibolehkan, ataukah tidak? Demikian juga salat dan haji?
Jawaban
Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki utang haji harus dihajikan oleh orang yang bersedia menjadi badal baginya. Biayanya diambilkan dari harta warisan yang ditinggalkannya. Sebab, itu merupakan utangnya kepada Allah yang wajib di-qadha.
Jika dia tidak mempunyai harta warisan lalu salah seorang kerabat atau sahabatnya dari kaum muslimin mewakili haji untuknya, maka itu akan membawa manfaat baginya dan dapat melepaskan tanggungan kewajibannya, dengan syarat orang yang menjadi badal haji itu telah menunaikan haji untuk dirinya terlebih dahulu.
Demikian juga jika orang yang meninggal dunia itu memiliki utang puasa Ramadhan atau puasa nazar, lalu orang lain membayarkan puasa atas namanya, maka hal itu sudah cukup baginya. Ini didasarkan pada banyaknya hadits yang menjelaskan tentang qadha haji dan puasa untuk orang yang telah meninggal dunia. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma, dia berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam mendengar seseorang berkata, ‘Labbaika `an (Aku penuhi panggilan-Mu untuk) Syubrumah.’ Rasul bertanya, ‘Siapa Syubrumah?’ Dia menjawab, ‘Saudara atau kerabat saya.’ Rasul bertanya lagi, ‘Apakah kami telah berhaji untuk dirimu sendiri?’ Dia menjawab, ‘Belum.’ Beliau lalu bersabda, ‘Tunaikanlah haji untuk dirimu terlebih dulu, barulah kemudian untuk Syubrumah.'” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya.
Ada pula hadits dari Aisyah radhiyallahu `anha yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan puasa, maka walinya wajib meng-qadha puasa atas namanya.” Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lain-lain.
Jika tidak ada orang yang dapat mewakili puasanya, maka dapat diganti dengan memberi makan fakir miskin dari harta warisannya sebesar setengah sha` makanan pokok penduduk negeri untuk setiap hari yang ditinggalkan. Adapun salat, maka tidak boleh diwakili, baik fardhu atau sunnah, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.