Hukum Barter Tanah Wakaf Dengan Toko Yang Diserahkan Kepada Kementrian Urusan Wakaf |
Pertanyaan
Alhamdulillah Wahdah (segala puji hanya bagi Allah). Salawat dan salam semoga dilimpahkam kepada Nabi Muhammad yang tidak ada nabi setelah beliau. Wa ba`du.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah membaca permohonan fatwa dari Yang Mulia Menteri Urusan Haji dan Wakaf, nomor 4830/W/M, tanggal 26/10/1391 H. yang ditujukan kepada Ketua Departemen Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan, yang memperoleh mandat dari Ketua Umum Dewan Ulama Senior nomor 2/31, tanggal 13/01/1392 H. Setelah melakukan pengkajian terhadap pertanyaan dan lampiran-lampiran yang disertakan, maka Komite menemukan bahwa inti dari pertanyaan Yang Terhormat Menteri Urusan Haji dan Wakaf adalah sebagai berikut:
Saudara Abdullah bin Sa`ud bin Faishal al-Hazani melayangkan surat kepada kami pada tanggal 18/10/1391 H., yang menyebutkan bahwasanya terdapat sebidang tanah di daerah al-Hariq yang bernama Zahwuh. Sebidang tanah tersebut diwakafkan untuk keperluan orang-orang yang berpuasa. Saudara Abdullah bin Sa`ud bin Faishal telah menyewa tanah tersebut dari perwakilan Kementrian Wakaf cabang daerah al-Hariq sejak dua puluh tahun silam dengan pembayaran tahunan berupa lima belas sha` gandum.
Dia melampirkan salinan dokumen resmi yang menguatkan kesepakatannya dengan perwakilan Departemen Urusan Haji dan Wakaf cabang kabupaten tersebut. Dia mengajukan permohonan kepada Departemen Urusan Haji dan Wakaf untuk membeli tanah tersebut secara kontan, lalu menggunakan hasil penjualannya untuk membeli sebuah toko di daerah al-Hariq di bawah pengawasan Departemen Urusan Haji dan Wakaf lalu menyerahkan toko tersebut kepada departemen tersebut. Dari sini dapat dipahami bahwa Abdullah bin Sa’ud ingin memiliki tanah tersebut melalui transaksi barter tersebut. Karena kami sangat berusaha untuk menjaga wakaf dan cara investasinya, maka kami berharap mendapatkan penjelasan dari Anda tentang masalah ini.
Dan di dalam salinan dokumen tersebut terdapat keterangan sebagai berikut:
Wakil Departemen Urusan Haji dan Wakf, Ibrahim al-Duhaimi menetapkan syarat kepada Abdullah bin Sa`ud bahwa seluruh pembenahan yang diperlukan terhadap semua benda miliknya yang ada di tanah wakaf tersebut, seperti sumur, bangunan, saluran air atau yang lainnya tidak dibebankan atas tanah wakaf tersebut sama sekali.
Dan Abdullah harus menerima hal tersebut. Abdullah sebagai penyewa juga tidak boleh mengajukan keberatan selama dia menjadi pemilik benda-benda yang ada di tanah wakaf tersebut dan dia wajib membayar uang sewanya selama dia masih menggunakannya untuk pertanian, perkebunan atau menanam pohon besar. Dia tidak boleh protes terhadap hal ini.
Uang sewa yang disebutkan diserahkan kepada perwakilan Kementrian Urusan Wakaf pada waktu yang telah disepakati setiap tahunnya, baik dia menanaminya maupun tidak. Jika dia tidak mau membayarkan uang sewa kepada pihak yang menjadi wakil dalam mengurus keperluan orang-orang yang berpuasa, maka orang yang menyewanya, baik Abdullah maupun yang lainnya, harus melepaskan tanah wakaf tersebut dan semua benda miliknya yang ada di dalamnya, seperti tanaman, bangunan, pohon-pohon besar dan yang lainnya, kecuali tanaman yang siap panen.
Dan tanaman, pohon-pohon besar, bangunan atau yang lainnya itu tidak dihitung nilainya, akan tetapi menjadi milik wakaf.
Dokumen ini ditandatangani oleh hakim al-Hariq, Abdul ‘Aziz bin Ibrahim bin Abdullalthif pada tanggal 10/08/1368 H.
Jawaban
Setelah mempelajari pertanyaan dan dokumen yang disertakan, Komite menjawab sebagaimana berikut:
Karena di dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa wakaf tidak ikut menanggung kerugian yang terjadi pada benda milik Abdullah bin Sa’ud al-Hadzani sebagai penyewa, namun dialah yang menanggungnya, dan bahwasanya jika dia tidak mau menyerahkan uang sewa kepada pihak yang menjadi wakil pengurusan keperluan orang-orang yang berpuasa maka penyewa, baik Abdullah bin Sa`ud maupun yang lainnya, harus melepaskan wakaf tersebut beserta semua yang ada di dalamnya, seperti tanaman, bangunan, pohon besar atau yang lainnya, kecuali tanaman yang siap panen, dan semua yang ada di dalamnya, berupa tanaman, pasak, bangunan atau yang lainnya tidak dihitung nilainya, dan semua itu secara otomatis menjadi milik wakaf, berdasarkan semua hal di atas, maka tidak boleh menjual wakaf tersebut. Karena, membiarkan wakaf tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan adalah lebih menguntungkan, lebih dapat menjaga dan lebih baik untuk wakaf itu sendiri. Sedangkan jika ia dijual dan diganti dengan toko, misalnya, dengan menggunakan uang hasil penjualannya, maka akan mengakibatkan wakaf tersebut rusak. Dengan ini maka kami membubuhkan tanda tangan kami.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.