Apakah Orang Sakit Dan Musafir Wajib Berbuka Puasa, Atau Mendapat Keringanan Saja? |
Pertanyaan
Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi hafizahullah berkata, tentang ayat 183, 184 dari Surah al-Baqarah, “Siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka tidak wajib berpuasa, namun wajib mengqada-nya.” Beliau menjelaskan bahwa maksudnya adalah penderita sakit apa pun.
“Penyakit” maksudnya penyakit yang tidak akan bertambah parah jika dia berpuasa qada (di lain hari) dan tidak mengkhawatirkan. Demikian juga perjalanan, siapa pun yang sedang bepergian, maka dia boleh berbuka (tidak puasa), kemudian mengqadanya. Beliau berargumen dengan firman Allah Yang Mahabenar lagi Mahasuci,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari- hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Beliau berkata, “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu” yakni “maka mengqadalah.” Dalam ayat itu tidak disebutkan, “Dan mereka berbuka (tidak puasa), lalu (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.”
Kesimpulannya, beliau berpendapat bahwa orang yang sakit atau musafir wajib berbuka (tidak puasa) dan mengqadanya. Dalilnya adalah kalimat “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari- hari yang lain.”
Beliau menegaskan kalimat ini, baik keduanya berpuasa atau tidak, yaitu bagi musafir dan orang sakit. Bagaimana sebenarnya hukum masalah ini? Apakah orang yang sakit atau bepergian tidak wajib puasa dengan menggunakan ayat ini sebagai dalil?
Jawaban
Penderita sakit yang jika berpuasa akan merasa kesulitan dan musafir mendapat rukhsah (keringanan) untuk berbuka di siang hari Ramadan. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari- hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Jika keduanya berpuasa, maka puasa tersebut sah, berdasarkan hadis Aisyah radhiyallahu `anha,
“Bahwa Hamzah bin `Amr al-Aslami radhiyallahu `anhu berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam, “Apakah saya boleh puasa dalam perjalanan?” Dia banyak berpuasa. Nabi bersabda, “Jika engkau mau, maka puasalah. Jika engkau mau, maka berbukalah.” Hadis diriwayatkan oleh al-Jamaah.
Hanya saja jika keduanya mengkhawatirkan kesehatan diri karena berpuasa, maka keduanya wajib berbuka. Dasarnya adalah hadis Jabir radhiyallahu `anhu, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam suatu perjalanan pernah melihat sekumpulan orang. Salah seorang di antaranya di bawa ke tempat teduh (karena lemah), maka beliau bersabda, “Ada apa ini?”. Orang-orang menjawab, “Dia berpuasa.” Lantas beliau bersabda, “Berpuasa ketika melakukan perjalanan bukanlah suatu kebaikan.”
Rukhsah untuk tidak berpuasa bagi musafir ini lebih baik diambil, berdasarkan hadis Hamzah bin `Amr al-Aslami,
“Bahwa dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku merasa kuat untuk tetap berpuasa (dalam perjalanan), apakah aku berdosa?”. Beliau menjawab, “Itu merupakan rukhsah (keringanan) dari Allah Ta’ala. Siapa yang mengambil rukhsah tersebut, maka itu baik. Siapa yang ingin tetap berpuasa, maka dia tidak berdosa.” (HR. Muslim)
Tentang ayat al-Baqarah, Insya Allah kemusykilan zahir ayat ini akan hilang jika Anda mengetahui bahwa dalam ayat ini terdapat prediksi kalimat “lalu dia berbuka”.
Sehingga maknanya adalah, “Siapa yang sakit atau dalam perjalanan, lalu dia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sejumlah hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.”
Para ulama telah menerangkan hal ini. Banyak keterangan seperti ini dalam al-Quran, Sunnah, dan perkataan orang Arab yang tidak perlu panjang lebar dijabarkan.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.