Suami Menjatuhkan Talak Kepada Istrinya Dengan Mengirim Surat Pernyataan Cerai, Namun Hakim Memutuskan Bahwa Talak Tersebut Tidak Sah, Kemudian Dia Menulis Surat Lagi Yang Ditujukan Kepada Ayah Istrinya |
Pertanyaan
Saya telah menjatuhkan talak satu kepada istri saya yang berinisial N. A. A. di awal bulan Muharram tahun 1392 H, tepatnya di daerah Khamis Mushayt. Saya sudah menuliskan talak tersebut di atas kertas dengan kesaksian orang yang berinisial H. R. dan S. M. R. Kemudian saya kirimkan surat itu melalui saudara saya yang berinisial A. A. K. kepada ayah istri saya.
Tatkala tulisan tersebut diperlihatkan pada hakim (agama) di daerahnya, beliau mengatakan bahwa tulisan tersebut tidak sesuai syariat dan penulisnya pun tidak diketahui. Sesudah kejadian itu, saya menulis kembali talak kedua di atas kertas, karena mengira talak pertama tidak jatuh. Lalu, saya kirimkan tulisan tersebut kepada ayah saya, agar diserahkan kepada ayah istri saya.
Perlu diketahui bahwa istri saya sudah pernah berhubungan intim dengan saya. Pada tanggal 12/2/1392 H, saya melakukan rujuk dengan dihadiri oleh saksi yang berinisial A. H. A. S. dengan Nomor Paspor 9600 bertanggal 8/11/1971 M, dan saksi yang berinisial M. S. A. A. dengan Nomor Paspor 3318 yang bertanggal 8/11/1970 M dari pihak Kementerian Dalam Negeri.
Perlu diketahui, bahwa saya belum pernah melakukan talak sebelumnya, dan sesudah itu pun tidak jatuh talak. Yang saya tanyakan adalah, apakah talak kedua ini dianggap talak pertama, karena saya mengira talak yang pertama itu tidak sah? Lalu, apakah rujuk yang saya lakukan itu sah, sebab dia masih berada dalam masa idah saat saya merujuknya?
Jawaban
Berdasarkan keterangan di atas, disebutkan bahwa orang yang meminta fatwa telah menjatuhkan talak satu di awal bulan Muharram tahun 1392 H. Lalu tatkala dia mengetahui keputusan hakim tentang ketidakabsahan pernyataan talak tertulis itu, akhirnya dia menjatuhkan talak kedua karena mengira talak pertamanya tidak jatuh. Kemudian pada tanggal 12/2/1392 H dia melakukan rujuk dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Di samping itu, orang yang bertanya juga menyebutkan bahwa istrinya masih berada dalam masa idah saat dia merujuknya, dimana sebelumnya dia belum pernah menjatuhkan talak, demikian pula setelahnya. Berdasarkan semua keterangan di atas, maka talak yang dinilai sah adalah yang pertama, sedangkan yang kedua tidak dianggap jatuh. Karena, suami mengira bahwa talak pertamanya itu tidak sah, padahal sebenarnya itulah yang sah.
Pernyataan hakim bahwa talak melalui tulisan itu tidak sesuai syariat sejatinya tidak tertuju pada hakikat talak itu sendiri, atau pada talak yang diniatkan oleh lelaki yang mengajukannya. Keputusan hakim itu tertuju pada cara suami dalam menyampaikan talak kepada wali istrinya, sekaligus menjelaskan bahwa cara penyampaiannya itu tidak syar’i.
Artinya, talak yang kedua itu muncul lantaran suatu hal yang diperkirakan dapat terjadi ternyata berbeda dari asumsi awal. Selanjutnya, mengenai suami yang merujuk istrinya pada masa idah dan disaksikan oleh dua orang, maka itu dianggap sah tanpa harus menunggu kerelaan istri atau melaksanakan akad baru.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.