Menikahi Perempuan Tanpa Mahar |
Pertanyaan
Ada seorang lelaki mukmin yang bertauhid kepada Allah. Akan tetapi, dia mengizinkan para putrinya yang cantik-cantik untuk dinikahi tanpa mahar, baik berupa harta, pakaian, atau apa pun dari pihak suami, kecuali karena Allah dan Rasul-Nya. Apakah nikah tersebut sah?
Jawaban
Mahar merupakan kewajiban di dalam pernikahan. Kewajiban ini berdasarkan makna yang dipahami dari ayat-ayat Al-Quran, Sunnah, dan ijma. Selain disebut mahar, ia juga disebut dengan ajr (imbalan). Allah Ta’ala berfirman,
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nissa’: 4)
Yakni dengan penuh kerelaan berdasarkan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah atas kalian, untuk diberikan kepada para wanita itu karena kalian telah menikahi mereka. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (QS. An-Nisaa’: 24)
Ada pula riwayat hadits,
“Ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk beliau nikahi. Akan tetapi, beliau tidak ingin menikahinya. Lantas ada seorang sahabat ingin menikahi wanita tersebut. Beliau meminta mahar kepadanya, dan sahabat tersebut menyatakan tidak punya apa-apa karena kondisinya yang fakir. Beliau pun akhirnya bersabda kepadanya, ‘Carilah mahar meskipun sebuah cincin dari besi.”
Lelaki itu pun mencarinya, namun tetap tidak menemukannya. Namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap tidak ingin menikahkannya dengan wanita itu kecuali jika ada sesuatu yang dapat dia berikan sebagai mahar dan mengandung manfaat baginya. Akhirnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahkannya dengan hafalan Al-Quran yang dia miliki untuk dia ajarkan kepada perempuan tersebut.
Ulama juga telah ber-ijma’ tentang keharusan adanya mahar dalam pernikahan. Jika ada orang yang menikahi seorang wanita dari walinya dengan menetapkan syarat tidak ada mahar untuk diberikan kepada wanita tersebut, maka menurut satu pendapat ulama, pernikahan mereka tidak sah. Ada juga yang berpendapat bahwa pernikahannya sah, namun syaratnya batil, lalu istri harus diberi mahar mitsl setelah digauli atau ketika suami meninggal dunia.
Kasus ini dapat diserupakan dengan kisah wanita yang menyerahkan diri kepada Nabi, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dari dua keterangan di atas, pendapat kedua (yang menyatakan bahwa pernikahannya sah dan syaratnya batil) adalah argumen yang paling kuat.
Adapun lelaki yang menikahi seorang wanita dan dia akan memberikan mahar kepadanya tanpa ditentukan jenis atau jumlahnya, maka nikahnya sah dan wanita tersebut mendapatkan mahar mitsil jika telah digauli atau salah satunya meninggal dunia.
Allah Ta’ala berfirman,
” Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.