Hukum Asal Dalam Pemberian Nafkah Adalah Keseimbangan |
Pertanyaan
A. Ada seorang Muslim yang membangun rumah tanpa memakai karpet mewah, pakaian mahal, dan barang-barang lainnya agar modelnya berbeda dari rumah jahiliyah. Apakah tindakan ini memiliki landasan dalil Sunah?
B. Ada seorang Muslim yang kaya ingin memiliki berbagai peralatan elektronik berteknologi terbaru sesuai keinginannya. Tujuannya lebih banyak waktu baginya untuk beribadah. Dia juga mengamalkan hadis bahwa Allah senang melihat nikmat-Nya yang ditampakkan oleh hamba-Nya. Apakah tindakan ini tidak bertentangan dengan ketakwaan, sikap wara’, dan zuhud?
Jawaban
A. Hukum asal dalam masalah pengeluaran nafkah (anggaran), baik untuk makanan, minuman, pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain sebagainya, adalah keseimbangan antara sikap boros dan kikir. Ini tentunya berbeda-beda, tergantung strata sosial, kondisi, lokasi, dan kemampuan finansial setiap orang. Allah berfirman memuji perilaku hamba-hamba-Nya,
” Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon: 67)
Allah juga berfirman,
” Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(31) Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rejeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat . Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.(32) Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raaf: 31-33)
Allah pun berfirman,
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung” (QS. Al-An’aam: 141)
Hingga firman-Nya,
“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’aam: 141)
B. Sikap seorang Muslim yang menikmati pemberian nikmat Allah tidak dianggap bertentangan dengan ketakwaan, sikap wara’, dan zuhud. Dengan catatan bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah halal, dan dia menafkahkan hasilnya secara proporsional.
Selain itu, dia tidak boleh lupa untuk menunaikan hak Allah dalam harta yang dimilikinya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam pernah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana tertuang dalam firman Allah,
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi” (QS. Shaad: 35)
Allah memberinya kenikmatan melebihi apa yang pernah dibayangkan akal. Ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam menggunakan karunia itu untuk mencari keridhaan Allah sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat-Nya dan menggunakannya dalam batas yang dihalalkan oleh-Nya. Ini semua tidak dianggap bertentangan dengan ketakwaan, sikap wara’, dan zuhudnya, bahkan menjadikannya sebagai hamba Allah yang bersyukur.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.