Penggunaan Alat Resusitasi

1 menit baca
Penggunaan Alat Resusitasi
Penggunaan Alat Resusitasi

Pertanyaan

Pertanyaan 1: Pada tahun lalu saya berada di rumah sakit Raja Khalid untuk menjalani praktik. Kemudian seorang pasien perempuan lanjut usia masuk di ruang praktik kami. Dia menderita sakit kanker yang sudah menyebar di hati dan tubuhnya. Menurut teori kedokteran, penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan dan penderita tidak akan bertahan hidup lama.

Kami memberinya nutrisi dan obat-obatan yang dibutuhkannya. Beberapa hari kemudian dia mengalami gagal ginjal total sehingga dia mengalami pingsan beberapa hari lalu meninggal. Dalam kondisi seperti ini kematian sering terjadi setelah kesehatan pasien menurun sedikit demi sedikit dan terkadang jantungnya berhenti berdenyut, yakni henti jantung terjadi dan akhirnya meninggal.

Henti jantung terkadang terjadi dalam kehidupan seseorang karena beberapa sebab lain yang telah diketahui. Ada tindakan yang dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung yang disebut dengan resusitasi jantung paru (RJP). Jika penderita segera ditangani, terkadang tindakan tersebut berhasil mengembalikan fungsi jantung dan pernafasannya dan menyelamatkan nyawa pasien dengan izin Allah Ta’ala.

Di rumah sakit Raja Khalid seperti halnya di beberapa rumah sakit besar- ada tim medis yang terdiri dari beberapa dokter spesialis di bidang resusitasi jantung paru. Masing-masing membawa peralatan khusus sehingga setiap pasien bisa memanggil mereka kapan pun ketika mengalami henti jantung.

Resusitasi jantung paru dapat dilakukan melalui pernafasan buatan dengan meniupkan pada paru-paru dan menekan dengan kuat secara berulang-ulang di atas hati pasien, tetapi itu terkadang dapat mengakibatkan sebagian tulang rusuk patah. Apabila usaha ini tidak berhasil, maka cara lain bisa dilakukan, yaitu menyambungkan aliran listrik ke tubuh pasien agar terjadi benturan kuat atau memasukkan jarum dari dadanya hingga ke dalam jantung guna memberikan suntikan obat yang mungkin dapat menfungsikan kembali jantungnya.

Usaha ini dilakukan beberapa kali hingga jantung dan pernafasannya berfungsi kembali atau dokter menyatakan bahwa pasien telah meninggal. Proses tersebut berlangsung selama setengah jam atau lebih. Permasalahan yang diminta fatwanya adalah mengenai teori yang digunakan para dokter bahwa pasien yang mengalami henti jantung lebih baik dibiarkan meninggal dengan tenang daripada diobati dengan alat resusitasi jantung paru, apalagi prosentase keberhasilannya sangat minim.

Kalaupun berhasil, hal itu tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernafasannya secara normal, tetapi henti jantung dan nafas akan terjadi lagi setelah beberapa saat dan alat resusitasi harus digunakan kembali. Bahkan mungkin dibutuhkan beberapa kali hingga penggunaan resusitasi jantung paru tersebut gagal dan pasien meninggal. Para dokter biasanya mencatat di dalam data pasien yang menderita penyakit tersebut tim medis yang bertugas meyelamatkan jantung paru tidak dipanggil ketika mengalami henti jantung.

Demikianlah ketentuan yang dicatat oleh dokter spesialis di dalam data pasien tersebut karena terkadang apa yang dikatakan dokter tidak dianggap resmi hingga dicatat di dalam data pasien. Saya telah menghubungi syaikh Ibnu Utsaimin saat itu dan menjelaskan masalah ini. Lantas ia berkata jika bahaya penggunaan alat resusitasi jantung paru lebih besar bagi pasien daripada manfaatnya, maka alat tersebut tidak boleh digunakan.

Masalah ini bukan hanya sekedar masalah pasien yang menderita penyakit tertentu atau kondisi yang jarang terjadi, tetapi dengan penyakit kangker yang sudah menyebar di seluruh tubuh pasien khususnya yang telah lanjut usia. Di beberapa rumah sakit besar banyak sekali pasien yang menderita penyakit tersebut.

Lantas apa hukum penggunaan alat resusitasi jika pasien tidak dalam keadaan pingsan, tetapi kondisinya seperti yang disebutkan di atas, bahkan masih bisa melihat, mendengar, memahami, dan terkadang bisa makan dan berbicara dengan sangat susah?

Pertanyaan 2: Ada pasien berusia 60 tahun menderita tekanan darah tinggi dan lumpuh separuh badan dan sebelumnya jantung sebelah kirinya telah diangkat. Sekitar 6 bulan yang lalu, dia masuk rumah sakit tempat kami praktik karena ada kanker yang meletus di paru-parunya.

Karena penyakit tersebut bisa mengakibatkan kematian, maka para dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Ketika operasi sedang berlangsung, dia mengalami henti jantung lantas dibantu dengan alat resusitasi jantung paru dan, alhamdulillah, berhasil dengan izin Allah sehingga jantung dan paru-parunya kembali berfungsi secara normal.

Namun, setelah operasi pasien belum juga sadar sampai sekarang. Dia tidak bisa mendengar dan merasakan, padahal pernafasan dan jantungnya berfungsi secara normal. Dokter spesialis otak menyatakan bahwa henti jantung yang dialami pasien dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel otak yang berfungsi sebagai sistem pengatur kesadaran manusia.

Sel otak tersebut ada di bagian paling atas. Otak bagian bawah yang terdiri dari pusat pernafasan dan jantung masih tetap hidup dan berfungsi secara normal dalam tubuh pasien. Pasien tersebut masih dalam perawatan medis sampai sekarang dan diperiksa secara intensif serta diberi nutrisi dan obat-obatan.

Pasien tersebut mungkin tetap dalam kondisi seperti itu hingga beberapa waktu, tetapi sangat berpotensi mengalami infeksi yang berbahaya, pembekuan darah, dan beberapa sebab lain yang mengakibatkan henti jantung dan kematian dengan izin Allah. Para dokter telah menginstruksikan kepada para perawat agar tidak memanggil tim medis yang menangani resusitasi paru-paru apabila pasien mengalami henti jantung.

Beberapa hari lalu dia mengalami gagal ginjal yang hanya tinggal satu dan kami telah memberikan perawatan yang perlu seperti menormalkan cairan dan memberikan obat-obatan yang dibutuhkannya. Ginjal berfungsi untuk memfilter dan membuang zat beracun dari darah dan mengeluarkannya melalui air seni.

Oleh karena itu, apabila pasien mengalami gagal ginjal, maka harus dilakukan cuci darah, yaitu dengan bantuan alat yang menyambungkan pembuluh darah dan urat leher dari salah satu ujung anggota tubuh pasien dan dijadikan sebagai pengganti ginjal.

Para dokter spesialis telah mencatat di dalam data pasien, bahwa mereka tidak akan menggunakan alat tersebut meskipun dibutuhkan, yakni tidak mengobati pasien dengan bantuan alat tersebut karena, menurut pengetahuan dokter, hal itu akan mengakibatkan kematian.

Namun, alhamdulillah terkadang ginjalnya kembali berfungsi secara normal dan tidak perlu dilakukan cuci darah. Hanya saja, ada kemungkinan pasien akan menderita kembali penyakit yang sama dan terkadang memerlukan cuci darah.

Para dokter terkadang tidak melakukan cuci darah apabila pasien mengalami gagal ginjal total yang sudah kronis, yakni pasien yang setiap jam harus cuci darah dan sudah sembuh dari penyakitnya, tetapi gagal ginjalnya berubah menjadi gagal ginjal menahun, yakni pasien tidak perlu lagi melakukan cuci darah selama hidupnya.

Cuci darah terkadang membutuhkan waktu beberapa jam dan harus dilakukan dua atau tiga kali bahkan lebih dalam seminggu. Cuci darah juga membutuhkan peralatan dan perawatan yang maksimal yang, bagi para dokter, terkadang dianggap tidak perlu dilakukan terhadap pasien yang tidak sadarkan diri.

Pasien yang masih hidup saja sebagaimana kata merekahanya membuat susah keluarganya, bahkan menurut teori medis kondisinya semakin memburuk dari sebelumnya.

Secara umum, terkadang para dokter di tempat kami bekerja bertanya hukum agama mengenai permasalahan tersebut, tetapi kami tidak bisa memberikan jawaban kepada mereka. Hal itu menunjukkan pentingnya para ulama hafidzahumullah untuk memahami masalah kedokteran seperti ini dan pentingnya para dokter memahami hukum agama megenai masalah tersebut.

Pertanyaan 3: Dalam beberapa kondisi, pasien mengalami kesakitan yang luar biasa sedangkan obat yang dikonsumsinya, seperti panadol atau aspirin, tidak dapat membatu meringankan rasa sakitnya sehingga dokter terpaksa harus memberinya obat morfin yang memiliki efek samping mengurangi sensitivitas otak sehingga pasien tidak merasakan sakit.

Morfin adalah jenis obat bius yang mengakibatkan akal pasien menjadi kacau dan kecanduan jika mengkonsumsi dengan dosis tinggi sehingga beberapa pasien mulai menunjukkan rasa sakit dan mengeluh kepada dokter agar diberi obat tersebut dengan dosis tinggi.
Obat lain, seperti (Betadin), memiliki efek samping pada otak seperti morfin, tetapi lebih ringan dan tidak bisa meringankan sakit pasien.

Dua obat tersebut banyak dikonsumsi pasien yang menderita serangan jantung sebelum dan sesudah operasi untuk menenangkan psikologi pasien dan meringankan rasa sakitnya. Apakah obat tersebut termasuk jenis barang yang memabukkan yang diharamkan syariat? Apa hukum mengkonsumsinya dalam keadaan darurat atau sangat membutuhkan?

Pertanyaan 4: Sebagaimana yang saya sebutkan di atas, bahwa sebagian pasien merasakan sakit yang luar biasa dan membutuhkan obat seperti morfin atau betadin untuk meringankan rasa sakitnya. Demikian pula sebagian pasien yang menderita kangker paru-paru yang sudah menyebar dan pernafasan mereka sangat lemah sekali.

Seperti yang sudah diketahui bahwa pernafasan bekerja berdasarkan sistem otak pusat yang disebut dengan pusat pernafasan. Obat-obat tersebut memiliki efek samping secara khusus terhadap pusat pernafasan, yaitu melemahkannya. Apabila dokter memberikan resep obat tersebut dengan dosis ringan agar tidak melemahkan pusat pernafasan, maka itu tidak cukup untuk meringankan rasa sakit.

Jika ia menambah dosisnya, maka kemungkinan besar pernafasan pasien akan berhenti karena pernafasannya sangat lemah dan hampir berhenti karena penyakit yang dideritanya. Pasien akan merasa sangat tersiksa oleh rasa sakitnya. Menurut pengalaman para dokter, para pasien biasanya meninggal dengan izin Allah setelah beberapa hari.

Di kalangan para dokter juga terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mereka memberi resep morfin kepada pasien dan berkata, “Pasien akan meninggal dengan tenang meskipun obat tersebut merupakan salah satu faktor penyebab kematiannya lebih baik daripada tersiksa oleh rasa sakitnya setelah itu meninggal. Sebagian yang lain tidak mau memberikan resep tersebut. Lantas mana yang lebih baik menurut syariat Islam?

Sebagai kesimpulan, saya meringkas hal-hal yang hukumnya perlu diketahui sebagai berikut:
1. Apa hukum mengunakan alat resusitasi jantung paru ketika mengalami henti jantung, sebagaimana kondisi pasien yang telah disebutkan pada pertanyaan pertama dan kedua?

2. Apa hukum tidak melakukan cuci darah ketika diperlukan karena mengalami gagal ginjal atau penyakit kronis pada ginjal, seperti pada kasus pasien yang disebutkan pada pertanyaan kedua?

3. Apa hukum mengkonsumsi obat betadin atau morfin dalam keadaan darurat dan terpaksa padahal obat tersebut bisa memabukkan, sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan ketiga?

4. Apa hukum mengkonsumsi obat-obatan tersebut dalam keadaan yang disebutkan pada pertanyaan keempat?
Demikianlah dan kami sungguh merasa bersalah ketika para dokter spesialis menetapkan kebijakan untuk pasien. Kami khawatir kebijakan tersebut haram menurut syariat Islam sedangkan kami tidak memiliki kekuatan untuk melarang mereka dan tidak mengetahui hukum syariat untuk meyakinkan mereka.

Alhamdulillah, para ulama memiliki semangat yang kuat untuk mengajari kami mengenai perkara-perkara dalam agama dan menyampaikan hukum Allah. Semoga Allah membalas jasa Anda kepada kami ini dengan sebaik-baiknya. Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi ajma’in.

Jawaban

Pertama, pada kondisi yang pertama, tim medis yang ahli dalam menggunakan alat resusitasi jantung paru boleh dipanggil untuk meyelamatkan pasien apabila menurut teori medis pasien yang mengalami henti jantung bisa disembuhkan. Jika henti jantungnya menurun ketika memakai alat tersebut dan kembali naik ketika tidak menggunakannya, maka alat tersebut tidak boleh digunakan karena itu menunjukkan bahwa pasien sudah meninggal.

Kedua, pada kondisi kedua, boleh diperlakukan sebagaimana pada kondisi pertama dan peralatan cuci darah pada kondisi kedua boleh digunakan apabila tindakan tersebut menurut dokter dapat menyelamatkan pasien karena mengambil sebab merupakan hukum universal Allah.

Ketiga, apabila tidak ada obat lain yag boleh dikonsumsi untuk meringankan rasa sakit pada pasien selain kedua obat tersebut, maka kedua obat itu boleh dikonsumsi dalam keadaan darurat untuk meringankan rasa sakit. Hal itu jika mengkonsumsinya tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar atau sama bahayanya seperti kecanduan mengkonsumsinya.

Keempat, pasien tidak boleh diberi resep tersebut demi ketenangan pasien untuk mempercepat kematiannya.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 8926

Lainnya

Kirim Pertanyaan