Pembunuhan Secara Sengaja Apakah Sama Perlakuan Hukumnya Bagi Orang Mukmin dan Muslim?

3 menit baca
Pembunuhan Secara Sengaja Apakah Sama Perlakuan Hukumnya Bagi Orang Mukmin dan Muslim?
Pembunuhan Secara Sengaja Apakah Sama Perlakuan Hukumnya Bagi Orang Mukmin dan Muslim?

Pertanyaan

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam” (QS. An-Nisaa’: 93)

Di ayat itu Allah hanya menyebutkan “siapa yang membunuh orang mukmin”, bukan “siapa yang membunuh orang muslim”. Lalu, apakah hukuman membunuh orang muslim itu juga neraka Jahanam?

Jawaban

Benar, siapa yang membunuh orang Muslim, maka hukumannya juga neraka Jahanam, sebab bila isi hati korban yang dibunuh itu sesuai dengan perilakunya, maka ia juga dianggap sebagai orang mukmin, sehingga pelakunya berhak mendapatkan hukuman di akhirat berdasarkan teks ayat tersebut. Namun, bila isi hatinya tidak sesuai dengan perilakunya, maka kita hanya boleh memperlakukannya sesuai dengan perilakunya itu, bukan malah mengorek isi hatinya.

Oleh sebab itu, darah orang yang seperti ini tetap dilindungi yang tidak boleh diganggu, berdasarkan apa yang telah disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah radhiyallahu `anhu bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,

أُمِرتُ أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله، وأني رسول الله، فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم على الله

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka terpeliharalah dariku darah dan harta mereka kecuali dengan alasan yang benar (dengan sebab syara`), sedangkan perhitungannya terserah kepada Allah.” (HR. Bukhari, Muslim dan para penulis Kitab Sunan)

Selain itu, juga telah disebutkan dalam riwayat Usamah bin Zaid radhiyallahu `anhuma dimana beliau mengatakan,

بعثنـا رسـول الله صلى الله عليه وسلم إلى الحرقـة فصبحنـا القوم فهزمنـاهم، ولحقت أنا ورجل من الأنصـار رجـلاً منهـم، فلما غشـيناه قـال: لا إله إلا الله، فَكَفَّ الأنصاري، وطعنته برمحـي حتى قتلتـه، فلمـا قدمنا بلغ النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا أسامة : أقتلته بعدما قال: لا إله إلا الله؟، قلت: كان متعـوذًا، فمـا زال يكررها حتـى تمنيـت أنـي لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم

” Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengutus kami ke al Huraqah, lalu kami menyerang kaum itu di pagi hari dan menaklukkan mereka. Kemudian aku dan seseorang laki-laki kaum Anshar mengejar seorang dari mereka. Tatkala kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaha illallah”. Laki-laki Anshar mengurungkan niat (untuk membunuhnya), namun aku menikamnya dengan tombak sehingga diapun mati. Ketika kami tiba kembali (di Madinah), Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah mendengar kabar tersebut. Beliau pun bersabda: “Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan La Ilaha illallah?”. Aku menjawab: “Dia hanya berpura-pura”. Beliau mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai aku berharap baru masuk Islam pada hari itu” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah tidak menganggap tindakan Usamah radhiyallahu ‘anhu yang mengira keimanan korban yang dibunuhnya itu tidak tulus, sebagai penghalang untuk memarahi Usamah, sehingga sikap Rasulullah itu mempengaruhi perasaan Usamah dengan kuat, lalu Usamah berkata: “Aku berharap waktu itu aku belum masuk Islam”.

Penjelasan di atas menujukkan bahwa vonis hukuman duniawi didasarkan pada perilaku yang terlihat, dan juga menunjukkan bahwa siapa yang membunuh orang Muslim, maka ia berdosa, telah melakukan sebuah dosa besar dan berhak mendapatkan azab neraka, kecuali jika alasan pembunuhan tersebut adalah salah satu dari tiga penyebab dibolehkannya membunuh, yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya,

لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث: النفس بالنفس والثيب الزاني والتارك لدينه المفارق للجماعة

“Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga perkara, yaitu: (membunuh) jiwa (dibalas) dengan jiwa, duda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agama dan jamaahnya.”

Dan alasan berikutnya adalah karena Allah dalam beberapa ayat menyebutkan kata “Mukmin” dengan arti yang mencakup orang Muslim, sebagaimana firman Allah tentang bentuk Kafarat (denda) yang berbunyi,

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

“Serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS. An-Nisaa’: 92)

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 1843

Lainnya

Kirim Pertanyaan