Hukum Waria Dalam Syariat |
Pertanyaan
Alhamdulillah Wahdah (segala puji hanya bagi Allah). Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad yang tidak ada nabi setelahnya. Wa ba`du, Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah mengkaji permohonan fatwa yang ditujukan kepada Mufti dari Doktor Nashir al-Musa, Pengawas Umum Pendidikan Khusus di Departemen Ilmu Pengetahuan, nomor 15/22/27, tanggal 28/7/1420 H, dengan lampiran pertanyaan yang dilayangkan kepada mereka dari penanya. Pertanyaan tersebut lalu dilimpahkan kepada Komite, dari Sekretariat Jenderal Dewan Ulama Senior, dengan nomor 3979, tanggal 29/7/14120 H. Penanya mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Saya seorang mahasiswi. Satu tahun lagi saya akan lulus kuliah. Saat ini saya berusia dua puluh lima tahun dan hingga saat ini saya tidak pernah haid seperti gadis-gadis yang lain. Saya memiliki kemaluan laki-laki yang bentuknya kecil dan lemah. Terkadang panjangnya seperti jari. Hidup saya sangat menderita dan saya pun ragu dengan keabsahan ibadah saya. Oleh karena itu, saya tidak menemukan seorang pun untuk bertanya kecuali Anda, sebagai lembaga fatwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya:
1. Apa pandangan Islam terhadap kondisi saya ini yang dalam dugaan saya disebut dengan khuntsa (waria)?
2. Apakah kami berdosa jika kami merasakan sesuatu yang bertentangan dengan kondisi yang sebenarnya?
3. Sejauh mana keabsahan ibadah yang saya lakukan, seperti salat dan puasa?
4. Apakah di dalam syariat terdapat perbedaan hukum waria, baik dia laki-laki maupun perempuan, dalam masalah warisan dan masalah-masalah lainnya yang mengharuskan pembedaan antara laki-laki dan perempuan?
5. Apa hukum mengubah jenis kelamin, yakni melakukan operasi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi?Apabila kondisi darurat mengharuskan seseorang melakukan operasi untuk mengubah pasien menjadi berjenis kelamin yang berbeda dengan jenis kelamin yang dimilikinya selama bertahun-tahun dan masyarakat pun mengenalnya dengan jenis berkelamin tersebut, seperti saya yang dilihat orang-orang sebagai seorang gadis, apakah ada masalah jika saya kemudian berubah menjadi seorang pemuda? Bagaimana jika kedua orang tua saya menolak keinginan ini dengan alasan takut omongan orang, malu, dan sejenisnya, apakah saya terhitung durhaka jika tetap melakukan operasi tersebut? Mohon penjelasannya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda. Mohon penjelasannya berbentuk surat yang dikirim ke rumah saya langsung karena saya khawatir akan dipermalukan orang-orang. Terimakasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.
Jawaban
Setelah melakukan pengkajian terhadap permasalahan yang diajukan, maka Komite memberikan jawaban bahwa seseorang wajib beriman kepada ketetapan dan takdir Allah; yang baik dan yang buruk, yang pahit dan yang manis.
Dia juga wajib rida dan pasrah dengan takdir Allah dan bersabar dengan hal-hal yang tidak dia sukai, seperti jika pada fisiknya terdapat kekurangan dan cacat yang berbeda dengan bentuk manusia pada umumnya dan jika seseorang terlahir khuntsa (waria).
Apabila seorang hamba bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah akan memberinya balasan pahala. Hendaknya dia tidak berkeluh kesah dan kesal dengan kondisinya karena hal itu akan melemahkan imannya dan membuatnya berdosa.
Setelah hal ini diketahui, maka orang yang terlahir khuntsa (waria) paling tidak mempunyai dua kondisi: Kondisi pertama, Khuntsa ghairu musykil (waria yang tidak rumit), yaitu orang yang memiliki tanda-tanda jenis kelamin laki-laki yang dominan. Jika tanda-tandanya sebagai laki-laki lebih dominan, maka dia diperlakukan sebagai laki-laki dalam hal ibadah dan lainnya.
Dia juga boleh ditangani secara kedokteran untuk menghilangkan ketidakjelasan pada kelelakiannya. Kondisi lainnya adalah tanda-tanda sebagai perempuan dalam dirinya lebih dominan sehingga diketahui bahwa dia adalah perempuan. Dia diperlakukan sebagai perempuan dalam masalah ibadah dan lainnya. Dia boleh ditangani secara kedokteran untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam keperempuanannya.
Kedua, Khuntsa musykil (waria yang rumit) adalah orang yang tanda-tandanya sebagai laki-laki atau perempuan ketika sudah balig tidak diketahui sama sekali, mati
ketika masih kecil atau tanda-tanda kelaminnya saling bertentangan. Dalam kondisi ini dia diperlakukan dengan status yang lebih hati-hati dalam masalah ibadah dan lainnya.