Tobat dari Perbuatan Bid’ah dan Maksiat |
Pertanyaan
Apa pendapat Anda tentang pelaku bid'ah syirik yang meminta pertolongan kepada para wali dan salat di makam mereka, berharap para wali itu memberi keberkahan?
Dia juga pernah menikahi seorang janda setelah menceraikan istrinya yang terakhir. Sebelum menikah, dia melakukan hubungan gelap dengan janda (yang kini menjadi istrinya) itu beberapa kali.
Akibatnya, wanita itu hamil dan dia langsung menikahinya setelah kandungannya tampak jelas. Perkawinan itu berlangsung bukan atas petunjuk yang dikehendaki Allah. Istrinya itu melahirkan seorang putri yang sekarang sudah berumur dua tahun.
Kemudian dia berkeinginan untuk bertobat kepada Allah dari perbuatan bid'ah yang dilakukannya, dan berkomitmen dengan Sunah Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam.
Dia pernah membaca kitab "Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid" dan kitab Ahlussunnah lainnya, lalu bertobat dari zina dan perbuatan-perbuatan mungkar.
Sekarang istrinya sedang hamil (lagi). Lelaki itu menanyakan apa yang harus dia lakukan, apakah wajib membayar kafarat karena berbuat zina?
Lalu, apa yang harus dia lakukan terhadap kerabatnya yang masih melakukan perbuatan bid'ah syirik? Mohon penjelasan atas masalah ini.
Jawaban
Pertama, tidak diragukan lagi bahwa syirik adalah dosa yang paling besar, bidah yang dibuat-buat adalah kejahatan yang paling buruk, dan zina adalah perbuatan maksiat dan termasuk dosa besar.
Orang yang melakukan dosa-dosa di atas wajib menyingkir, menjauhi, memohon ampun kepada Allah, dan bertobat dari kejahatan-kejahatan yang dilakukannya karena telah melampaui batas. Mudah-mudahan Allah menerima tobatnya.
Apabila dia telah bertobat dan beristigfar kepada Allah, maka kita berharap kepada-Nya untuk menerima tobat, mengampuni dosa, melindunginya di masa depan, dan menggantikan keburukan-keburukannya dengan kebaikan.
Dia juga harus banyak menyesal, bertobat, meminta ampun, dan melakukan amal-amal saleh. Karena sesungguhnya amal-amal kebaikan dapat menghapus keburukan. Dia juga tidak boleh mengikuti jalan-jalan setan, karena ia selalu memerintahkan berbuat sesuatu yang keji dan mungkar. Allah Ta`ala berfirman,
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan : 68-71)
dan Allah Ta`ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (QS. An-Nur : 21)
Dia harus bersyukur atas taufik yang Allah berikan dengan dibimbing keluar dari kebingungan dan diberikan petunjuk untuk keluar dari kesesatan.
Kedua, dia harus bersungguh-sungguh mengajak keluarga dan kaumnya kepada tauhid yang benar dan membuang perbuatan-perbuatan bidah, takhayul, dan menganjurkan mereka agar berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunah, serta mengamalkannya.
Mudah-mudahan dakwah memberi manfaat untuk mereka, lalu mereka bersedia memenuhinya dan bertobat kepada Allah dari perbuatan syirik dan seluruh bidah. Dengan demikian, mereka juga menjadi kekuatan baginya dalam membantu kelancaran dakwah kepada kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha memberikan pertolongan.
Ketiga, jika realitas yang terjadi pada dirinya dulu seperti, yaitu bahwa dia memiliki jalan hidup layaknya kaum Jahiliyah sebelum Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam diutus, pernah melakukan syirik besar, dan telah menikah dengan seorang wanita di masa sesat, maka tobat itu dianggap sebagai keinginan untuk meninggalkan syirik dan perbuatan dosa, serta dinilai sebagai awal niatnya untuk memulai kehidupan baru yang islami.
Oleh karena itu, pernikahan yang diikatnya dulu saat masih dalam kesesatan itu tetap diakui, jika istrinya juga bertobat dari perbuatan syirik dan maksiat seperti suaminya.
Karena, sesungguhnya Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengakui pernikahan orang-orang kafir di masa Jahiliyah yang kemudian masuk Islam, beliau juga tidak menanyakan kepada mereka tentang rincian cara pernikahan dan tidak pula memperbarui akad nikah mereka.
Keturunan mereka yang lahir di masa kafir juga tetap berstatus sebagai anak mereka. Tidak ada kewajiban yang mesti dilakukan oleh lelaki tersebut dan istrinya, kecuali mereka dituntut agar menggantikan kejahatan dengan kebaikan, memperbanyak amal saleh, dan menjauhi perbuatan mungkar yang diharamkan oleh Allah.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.