Meyakini Doa kepada Selain Allah; Meyakini Bahwa Rasul dan Para Wali Masih Hidup; Mengatakan Bahwa Rasul Adalah Cahaya yang Berasal dari Cahaya Allah |
Pertanyaan
Apa hukum salat di belakang orang yang berkeyakinan bahwa berdoa kepada rasul, para wali, atau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu akan didengar dan dikabulkan, sebab banyak orang di Pakistan berdoa kepada Rasulullah, Ali, atau Abdul Qadir al-Jilani, berharap supaya mendapat keuntungan atau terhindar dari bala bencana?
Apa hukum orang yang berkeyakinan bahwa rasul, para wali, dan syekh-syekh masih hidup, atau memercayai bahwa roh para syekh hadir dan mengetahui (permasalahan seseorang)? Lalu, bagaimana hukum orang yang berkeyakinan bahwa Rasulullah adalah cahaya, dan hukum orang yang menafikan sifat basyariah (sifat manusia biasa) dari beliau?
Jawaban
Pertama, doa adalah salah satu ibadah. Ibadah merupakan hak khusus Allah Jalla wa `Ala, dan beribadah kepada selain-Nya berarti menyekutukan-Nya. Dalil Kitab (Alquran), Sunah (hadits), dan ijmak para ulama telah menegaskan akan keharaman berdoa kepada selain Allah. Adapun dalil-dalil Alquran, di antaranya firman Allah Ta`ala,
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim” (QS. Yunus : 106)
Ayat ini, dan yang semakna dengannya, menjelaskan bahwa berdoa kepada selain Allah adalah perbuatan kufur, syirik, dan sesat.
Adapun dalil-dalil Sunah, di antaranya hadits yang dimuat dalam kitab Sunan (kitab-kitab hadits berdasarkan tema fikih), dari an-Nu`man bin Basyir, bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa sallam bersabda,
“Doa adalah ibadah.” Lalu beliau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”
Kemudian, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabarani dengan sanadnya bahwa,
“Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada seorang munafik yang senantiasa menyakiti orang-orang mukmin. Lantas sebagian mereka berkata, ‘Berdirilah, mari kita beristigasah (meminta pertolongan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari orang munafik ini.‘ Lantas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak boleh meminta tolong kepadaku, mintalah tolong hanya kepada Allah.'”
Hadis ini memuat larangan meminta pertolongan kepada Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, atau kepada orang yang derajatnya lebih rendah beliau. Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam tidak menyukai penggunaan ungkapan ini kepada dirinya, sekalipun pada hal-hal yang mampu beliau lakukan di saat masih hidup.
Tujuannya untuk menjaga tauhid dan menutup pintu-pintu yang dapat mengantarkan kepada syirik. Selain itu, larangan Rasulullah itu merupakan adab dan ketawadukan beliau kepada Tuhannya, serta untuk memperingatkan umat terhadap perantara-perantara syirik, baik perkataan maupun perbuatan.
Jika Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam saja bersikap seperti itu pada hal-hal yang dapat dilakukan di masa hidupnya, maka bagaimana mungkin kita dibolehkan meminta pertolongan kepadanya setelah beliau wafat, dan meminta hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah `Azza wa Jalla?
Kemudian, apabila ini diberlakukan pada diri Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, lalu bagaimana halnya dengan orang yang derajatnya lebih rendah daripada beliau? Adapun dalil ijmak, para ulama sepakat bahwa doa termasuk dalam hak-hak istimewa Allah Jalla wa `Ala, dan berdoa kepada selain-Nya adalah syirik.
Kedua, mendengar suara adalah karakter orang yang masih hidup. Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pendengarannya sudah hilang. Dia tidak mampu lagi menangkap suara-suara penduduk dunia dan tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Allah Ta`ala berfirman,
“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (QS. Fathir : 22)
Allah Ta`ala menegaskan kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwa orang yang tidak mendengar seruan beliau untuk masuk ke dalam agama Islam diserupakan dengan orang-orang mati.
Pada dasarnya, dalam pembahasan tasybih (majas metafora), sifat yang ada pada musyabbah bih (yang dijadikan metafor) itu lebih kuat daripada musyabbah (yang diserupakan).
Oleh karena itu, orang mati dikelompokkan ke dalam orang-orang yang tidak bisa mendengar. Mereka (orang yang sudah mati) lebih pantas tidak memenuhi panggilan atau doa, jika dibandingkan dengan orang-orang yang membangkang dengan menutup telinga karena enggan mendengar, dan membutakan diri dari dakwah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Mereka berkata, “Hati kami tertutup.” Dalam hal ini Allah Ta`ala berfirman,
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir : 14)
Adapun mengenai kaum kafir yang terbunuh dan dibuang di al-Qalib ketika perang Badar mampu mendengar Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam saat beliau berseru kepada mereka,
“Apakah kalian telah mendapati janji Tuhan kalian itu benar. Kami telah mendapati janji Tuhan kami benar.”
Serta keterangan bahwa beliau Shallallahu `Alaihi wa Sallam berkata kepada para shahabat,
“Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku ucapkan daripada mereka.”
Ketika mereka mengingkari adanya seruan beliau kepada penghuni al-Qalib, maka hal itu adalah keistimewaan khusus yang diberikan oleh Allah kepada beliau. Jadi, itu merupakan pengecualian dari kaidah umum, dengan berdasarkan kepada dalil.
Ketiga, Alquran menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam akan meninggal, di antaranya adalah firman Allah Ta`ala,
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar : 30)
Dan firman Allah Ta`ala,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS. Ali Imran : 185)
Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam termasuk ke dalam makna umum ayat ini (mengalami kematian). Para sahabat radhiyallahu `anhum dan para ulama yang hidup setelah mereka pun telah berijmak atas kematian beliau.
Dengan kata lain, para ulama umat Islam telah bersepakat pada masalah ini. Apabila sudah ditetapkan bahwa beliau Shallallahu `Alaihi wa Sallam yang merupakan utusan Allah saja tidak mampu (menolong orang yang meninggal dunia), maka tentunya para wali dan syekh lebih tidak mampu lagi.
Pada prinsipnya, pengetahuan tentang masalah-masalah gaib adalah hak prerogatif (istimewa) Allah. Allah Ta`ala berfirman,
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am : 59)
dan Allah Ta`ala berfirman,
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml : 69)
Akan tetapi Allah Ta`ala memperlihatkan sedikit perkara gaib kepada para rasul yang Dia kehendaki. Allah Ta`ala berfirman,
“Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin : 26-27)
dan Allah Ta`ala berfirman,
“Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan”. (QS. Al-Ahqaf : 9)
Diriwayatkan dalam hadits panjang dari jalur Ummu al-`Ala’ yang berkata,
“Ketika Utsman bin Mazh`un wafat kami mengafaninya dengan baju yang dia kenakan. Tidak lama kemudian Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam masuk ke tempat kami. Aku berkata (mengenang orang yang meninggal dunia), ‘Semoga rahmat Allah tercurah atasmu, wahai Abu Sa’ib (Utsman bin Mazh`un). Aku bersaksi atasmu bahwa Allah telah memuliakanmu.’ Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Dari mana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Aku menjawab, ‘Demi bapakku, dirimu, dan ibuku, aku tidak tahu.’ Kemudian, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Mengenai dirinya, sesungguhnya kematian telah mendatanginya. Aku berharap dia berada dalam kebaikan. Demi Allah, meskipun aku ini Rasulullah, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Allah kepadaku.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, tidak seorang pun setelah peristiwa itu yang aku anggap bersih, sampai kapan pun.'”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, dan diriwayatkan pula oleh Bukhari pada Bab Jenazah di dalam kitab Shahih-nya. Dalam narasi lain dari Bukhari, (Rasulullah bersabda),
“Aku tidak mengetahui, sekalipun aku Rasulullah, apa yang akan dilakukan Allah kepadaku.”
Dalam banyak hadits, disebutkan bahwa Allah memberikan informasi kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai akhir kehidupan para sahabat beliau, kemudian beliau menyampaikan berita gembira bahwa mereka akan masuk surga.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu `anhu yang diriwayatkan di dalam “Shahih Muslim,”
“Ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam tentang waktu Hari Kiamat, beliau menjawab, ‘Orang yang ditanya tidak lebih paham dari orang yang bertanya.'”
Kemudian beliau hanya menerangkan tentang tanda-tanda kedatangannya. Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam hanya mengetahui perkara gaib yang Allah beritahukan kepada beliau, dan itu pun sesuai kebutuhan.
Sama seperti saat Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahu beliau Shallallahu `Alaihi wa Sallam dalam surah al-Fath bahwa beliau telah diampuni dosanya. Dalam hadits sahih, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
“Nabi akan masuk surga, Abu Bakar akan masuk surga, Umar akan masuk surga, Utsman akan masuk surga, Ali akan masuk surga, Thalhah akan masuk surga, az-Zubair akan masuk surga, Abdurrahman bin `Auf akan masuk surga, Sa’d bin Malik yakni Ibn Abi Waqash, akan masuk surga, Sa`id bin Zaid akan masuk surga, dan Abu `Ubaidah bin al-Jarrah akan masuk surga.”
Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka semua. Apa yang telah disebutkan di atas adalah perkara gaib yang telah Allah perlihatkan kepada Nabi-Nya.
Keempat, mengenai klaim bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam adalah cahaya yang berasal dari cahaya Allah, jika ungkapan itu mengarah kepada keyakinan bahwa entitas beliau Shallallahu `Alaihi wa Sallam adalah benar-benar cahaya yang diambil dari cahaya Allah, maka hal itu bertentangan dengan Alquran yang telah menjelaskan bahwa sifat Nabi adalah basyariah (manusia biasa).
Jika cahaya yang dimaksud adalah gambaran akan diri Rasulullah yang menyampaikan wahyu sebagai petunjuk bagi siapa pun yang dikehendaki-Allah, maka ungkapan itu benar.
Kami telah menerbitkan fatwa tentang masalah ini, yang berbunyi: “Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam mempunyai cahaya, yaitu cahaya risalah dan petunjuk, yang dianugerahkan oleh Allah kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa cahaya risalah dan petunjuk datang dari Allah. Allah Ta`ala berfirman,
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”(51) “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Alquran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Alquran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Alquran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”(52) “(Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (QS. Asy-Syura : 51-53)
Cahaya ini tidak diambil dari penghujung para wali (Nabi Muhammad), sebagaimana yang diklaim oleh sebagian ahli bid’ah. Tubuh Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam terbentuk atas darah, daging, tulang, dan lain sebagainya.
Beliau diciptakan melalui seorang bapak dan seorang ibu, dan tidak ada penciptaan bagian apa pun dari diri beliau sebelum kelahiran. Riwayat yang mengatakan bahwa ciptaan Allah paling pertama adalah cahaya Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, atau riwayat yang menyebutkan bahwa Allah mengenggam sekepal cahaya wajah-Nya–cahaya itu adalah Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam–lalu Allah memandanginya sehingga terpisah-pisah menjadi percikan-percikan yang mana setiap percikan itu menjadi seorang nabi, atau bahkan seluruh makhluk diciptakan dari cahayanya Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, maka semua yang disebutkan dan riwayat lain yang sejenisnya sama sekali tidak sahih dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam.” (h. 366, dan setelahnya dari kitab “Majmu` al-Fatawa” karya Ibn Taimiyah j. 18)
Kelima, mengenai ungkapan bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bukan manusia seperti kita, maka ini bisa dikatakan benar dan bisa juga salah. Kami telah menerbitkan fatwa tentang masalah ini, yang berbunyi: “Kalimat ini bersifat umum, bisa benar dan bisa juga salah. Benar jika maksudnya untuk menegaskan bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam adalah manusia, tetapi bukan manusia biasa pada umumnya.
Meskipun beliau sama dalam segi karakteristik manusia seperti makan dan minum, sehat dan sakit, ingat dan lupa, hidup dan mati, menikahi wanita, dan lain-lain, tetapi beliau memiliki keistimewaan yang khusus dianugerahkan oleh Allah berupa wahyu yang diturunkan kepadanya.
Selain itu, beliau diutus kepada sekalian umat manusia sebagai penyampai kabar gembira, pemberi peringatan, dan penyeru kepada Allah atas izin-Nya, sebagai pelita terang. Inilah yang benar dan telah dibuktikan, baik oleh fakta yang ada maupun oleh Alquran. Allah Ta`ala berfirman,
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi : 110)
Allah Ta`ala memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam untuk memberitahu umatnya bahwa beliau manusia seperti mereka. Hanya saja Allah memilihnya untuk memikul beban dakwah, menerima wahyu yang berisi syariat, tauhid, petunjuk kepada-Nya, dan lain-lain. Allah Ta`ala berfirman, ketika menerangkan perbincangan yang terjadi antara para rasul dengan umat mereka,
“Rasul-rasul mereka berkata: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?” Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata. Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mu’min bertawakal.” (QS. Ibrahim : 10-11)
Pada ayat tersebut, para rasul mengakui bahwa mereka adalah manusia biasa seperti kita, tetapi Allah telah memberi karunia mereka berupa risalah kenabian, sama seperti Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniai kepada hamba pilihan-Nya sesuai dengan yang Dia kehendaki, dengan maksud untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Akan tetapi, jika maksud ungkapan tersebut adalah bahwa Rasulullah sama sekali bukan manusia, atau manusia yang tidak sama sifatnya dari manusia biasa dalam hal apa pun, maka ungkapan itu salah dan bertentangan dengan fakta. Itu merupakan kekafiran nyata karena bertentangan dengan dalil kuat dalam Alquran yang menegaskan bahwa para rasul adalah manusia dan sama dengan mereka dalam apa pun, selain fakta bahwa para rasul diberi keistimewaan oleh Allah, seperti wahyu, kenabian, risalah, dan mukjizat.
Dalam konteks apa pun ungkapan ini tidak dibenarkan, baik itu berupa penetapan maupun penafian, kecuali jika disertai dengan penjabaran dan penjelasan, karena perkataan itu sangat rancu dan bermakna umum. Oleh karena itu, Alquran tidak menyebutkan ungkapan itu tanpa menjelaskan bahwa Allah telah memberi risalah dan keistimewaan kepada rasul-rasul-Nya, sebagaimana yang terdapat pada ayat-ayat di atas. Seperti dalam firman Allah Ta`ala,
“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya)”. (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Fushilat : 8-7)
Sebab, menyetarakan para rasul dengan manusia lain secara mutlak dikhawatirkan dapat memberikan efek merendahkan kedudukan mereka (para rasul) dan memberi celah untuk mengingkari risalah mereka. Di sisi lain, menghilangkan kesamaan para rasul dengan manusia lain dikhawatirkan dapat membuat manusia berlebih-lebihan (mengagungkan) para rasul dan melekatkan sifat-sifat yang hanya khusus bagi Allah kepada mereka (para rasul). Sudah semestinya seorang Muslim menjelaskan hal ini secara rinci, untuk membedakan yang benar dari yang batil, memilah yang merupakan petunjuk dari yang sesat.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.