Bercampurnya Lelaki Dengan Perempuan Di Lembaga Pendidikan |
Pertanyaan
Segala puji hanyalah bagi Allah. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasul-Nya, kerabat dan sahabat beliau. Wa ba`du,
Komite Tetap Riset dan Fatwa telah melihat permohonan fatwa yang diajukan oleh Lembaga Syariah dan Studi Islam di Universitas Kuwait kepada yang mulia ketua umum Komite, dan kemudian dilimpahkan kepada Komite dengan nomor 269, pada tanggal 8/2/1404 H. Isi pertanyaan tersebut adalah:
Terkait permasalahan yang dialami oleh para mahasiswa dan mahasiswi universitas Kuwait tentang permasalahan bercampurbaurnya antara lelaki dan perempuan di dalam satu ruangan kelas.
Dan yang saya maksud dengan bercampurbaur adalah bercampurnya antara lelaki dan perempuan. Di antara mereka terdapat para wanita yang memakai pakaian tapi seperti telanjang, juga terdapat para wanita yang memakai hijab syar`i.
Sebagian orang telah menfatwakan kebolehan bercampurnya antara lelaki dan perempuan dalam proses pendidikan. Mereka berdalil dengan bercampurnya antara para lelaki dan perempuan ketika sedang melakukan tawaf saat ibadah haji dan umrah.
Padahal perzinaan bisa jadi akan tersebar antar para mahasiswa dan mahasiswi yang tidak taat dengan ajaran Islam, dengan alasan kebebasan pribadi. Mereka juga sering mengadakan tour bersama antara mahasiswa dan mahasiswi yang di dalamnya mereka saling berduaan.
Universitas pun menjadi ajang pertunjukan pakaian mode terbaru, make up dan gaya rambut dengan banyaknya mahasiswa dan mahasiswi yang belum menikah.
Oleh karena itu kami mohon Anda memberikan fatwa terhadap pertanyaan-pertanyaan kami dan menjelaskan mana yang benar dan mana yang batil, serta membimbing kami kepada yang benar.
Dan mohon dijawab secara detail, karena jawaban tersebut akan kami cetak dan akan kami bagikan kepada para mahasiswa. Pertanyaan kami adalah:
1. Penjelasan tentang keharaman pendidikan yang bercampur antara lelaki dan perempuan disertai dalil-dalil dan bantahan terhadap orang yang mengatakan kebolehannya dengan dalil tawaf.
2. Siapakah yang berdosa akibat bercampurbauran kami di universitas, karena kami selalu mengingkari hal tersebut? Seandainya kami tinggalkan universitas tertentu, tentu para pembuat kerusakan akan berbuat lebih parah lagi.
3 Apakah upaya untuk meminimalisir bangunan, biaya, jumlah pengajar dan laboratorium di universitas membolehkan terjadinya campurbaur?
Jawaban
Pertama: Bercampurnya antara lelaki dan perempuan dalam proses pendidikan adalah haram dan sebuah kemungkaran yang besar. Hal ini karena ia mengakibatkan terjadinya fitnah, tersebarnya kerusakan dan dilanggarnya kehormatan.
Keburukan dan dekadensi moral yang menjadi dampak dari bercampurnya antara laki-laki dan perempuan, merupakan dalil terkuat bagi pengharamannya.
Adapun mengqiyaskan hal tersebut dengan thawaf di Baitullah, maka ini adalah qiyas dengan hal yang tidak tepat, karena para wanita pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melakukan thawaf di belakang para lelaki dengan menutup rapat aurat mereka dan tidak masuk dalam rombongan lelaki serta tidak berbaur dengan mereka.
Demikian juga kondisi mereka ketika berada di tempat Salat Id mereka pergi ke tempat Salat Id dengan menutupi tubuh mereka dan duduk di belakang para lelaki di tempat shalat.
Dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, setelah menyampaikan khutbah Id kepada para lelaki, beliau mendatangi jamaah perempuan lalu menyampaikan pesan dan nasehat kepada mereka.
Sehingga, ketika itu lelaki dan perempuan tidak bercampur. Demikian juga ketika mereka melakukan shalat jamaah di dalam masjid mereka pergi menuju masjid dengan menutupi tubuh mereka dan melakukan shalat di belakang para lelaki, tanpa adanya percampuran antara saf-saf mereka dengan saf-saf para lelaki.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia memberi taufik kepada para pemegang kebijakan di dalam semua pemerintahan Islam agar menghapuskan bercampurnya lelaki dan perempuan dalam lembaga pendidikan dan memperbaiki kondisi mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
Kedua: Tanggung jawab dalam permasalahan ini berada di pundak para penguasa dan para ulama dalam hal pengarahan dan pelaksanaan. Para wali perempuan juga bertanggung jawab dalam hal ini.
Maka pihak-pihak ini memikul tanggung jawab yang kadarnya sesuai dengan posisi masing-masing. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga: Upaya untuk meminimalisir biaya, peralatan dan para dosen, tidak menjadikan bercampurnya antara para mahasiswa dan mahasiswi dibolehkan.
Karena pendidikan wajib dalam batas kemampuan saja. Sedangkan menghindari bercampurnya mahasiswa dan mahasiswi dapat menghapuskan banyak problematika.
Di samping itu, apabila para wanita memakai pakaian syar`i untuk menutup aurat mereka, maka banyak kekacauan yang dapat diatasi. Dan orang yang menginginkan kebaikan dan berupaya mengikuti syariat, maka Allah akan memudahkan jalannya dan Dia akan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(2) dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Thalaaq : 2-3)
Sampai firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-Thalaaq : 4)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.