Sanggahan atas Pendapat Keliru yang Menyatakan bahwa Firman Allah Itu Qadim (Ada Sejak Zaman Azali) |
Pertanyaan
Kita membaca dalam Al-Quran ayat ("Dan Musa berkata: "Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu") ("Dan Firaun berkata: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi") Ada banyak contoh selain dua ayat ini di dalam Al-Quran. Bagaimana kita menyebut ayat ini adalah Al-Quran, sedangkan firman Allah itu bersifat qadim (ada sejak zaman azali)?
Jawaban
Sebuah kalimat terdiri dari kata dan makna. Kalimat juga berlaku untuk kata saja atau makna saja jika ada indikasi yang menunjukkan hal itu. Orang yang menukil dari pihak yang berbicara tanpa ada perubahan makna, huruf dan susunannya hanya disebut sebagai pembawa dan penyampai berita.
Pembicaraan itu dinisbatkan kepada pihak yang pertama kali menyatakannya. Sementara itu, jika ada yang merubah huruf dan susunannya dengan tetap tidak keluar dari makna pembicaraan, maka redaksi tersebut dinisbatkan kepadanya baik huruf maupun susunannya. Makna pembicaraan itulah yang dinisbatkan kepada orang yang pertama kali menyatakannya.
Di antara contohnya adalah firman Allah tentang kisah umat terdahulu, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab” (QS. Al-Mu’min : 27)
dan firman-Nya :
“Dan Firaun berkata: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu”” (QS. Al-Mu’min : 36)
Dua ayat ini disebut Al-Quran. Keduanya dianggap sebagai firman Allah dari sisi huruf dan susunannya. Hal itu karena kata dan susunannya berasal dari Allah bukan dari Musa dan Fir’aun.
Namun, dua ayat ini dianggap sebagai ucapan Musa dan Fir’aun dari sisi maknanya saja, karena yang menyampaikan maknanya adalah Musa dan Fir’aun.
Allah telah mengetahui kata dan makna pembicaraan tersebut sejak zaman azali dan memerintahkan untuk ditulis di Lauhil Mahfudh. Lalu hal itu disampaikan Musa dan Fir’aun dengan bahasa mereka sesuai dengan yang tertulis di Lauhil Mahfudh. Selanjutnya, Allah menyampaikan pernyataan tersebut dengan huruf dan susunan lain di masa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan menisbatkannya kepada Musa dan Fir’aun dari sisi maknanya.
Pernyataan yang menyatakan bahwa firman Allah adalah Qadim, hal itu tidak dijumpai di masa Sahabat radhiyallahu ‘anhum, begitu juga di masa para salaf rahimahumullah. Namun, pengikut Ahlussunnah dahulu ketika diuji, mereka menyatakan bahwa kalam Allah adalah bukan makhluk.
Para penentang Ahlussunnah menyatakan bahwa firman Allah adalah makhluk. Oleh karena itu, menyifati firman Allah dengan istilah qadim merupakan istilah baru.
Seandainya kita menerima pendapat itu, kita harus menyatakan bahwa firman Allah adalah “Qadimun Nau’i”(tidak didahului dengan ketiadaan), “Haditsul Ahad”(Jenis kalam tertentu adalah baru bukan Qadim, karena terkait kehendak-Nya, kapan dan bagaimana).
Alasannya karena Allah masih berfirman, dan akan senantiasa berfirman sesuai kehendak-Nya, bahkan Dia akan berfirman pada hari kiamat kepada orang beriman, orang kafir dan yang lainnya sesuai kehendak-Nya. Hal ini berdasarkan hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, riwayat `Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada seorang pun di antara kalian, kecuali nanti (pada hari kiamat) akan diajak bicara oleh Allah, yang antara dia dengan Allah tidak ada seorang pun yang menjadi penerjemah”
Masih banyak lagi hadits yang terkait dengan tema tersebut.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.