Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Apakah Perbedaan Mathla’ Diperhitungkan Atau Tidak? |
Pertanyaan
Kami, komunitas Muslim Perancis bingung dengan perbedaan pendapat yang selalu terjadi di antara negara-negara Arab dalam hal penentuan awal bulan Ramadhan.
Arab Saudi mengumumkan bahwa awal bulan Ramadhan jatuh pada hari Kamis, sementara Kuwait mengumumkan bahwa awal bulan Ramadhan jatuh pada hari Jumat. Berdasarkan hal itu, bagi Arab Saudi, bulan Sya’ban hanya 29 hari, sementara bagi Kuwait, bulan Sya’ban 30 hari. Di sisi lain, berdasarkan hisab ilmu falak yang dilakukan di Paris, hilal akan muncul pada hari Rabu jam 19.49, bertepatan dengan tanggal 30 Mei 1984 M.
Mohon Anda bersedia memberikan penjelasan kepada kami, apakah yang dijadikan patokan Kerajaan Arab Saudi dalam menentukan awal bulan Ramadhan hari Kamis, 31 Mei 1984 M. Selain itu, mohon Anda menjelaskan kepada kami tafsir ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Kami berharap kepada Allah, lalu kepada Anda, agar Anda memberikan penjelasan secepatnya.
Jawaban
Pertama, perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang apakah perbedaan mathla’ diperhitungkan atau tidak, adalah perbedaan klasik yang sudah terjadi sejak zaman para imam fikih.
Kedua, berdasarkan hukum syariat, hilal Ramadhan tahun 1404 H. belum dapat dilihat oleh pihak-pihak yang berwenang di Kerajaan Arab Saudi kecuali pada malam Kamis.
Maka mereka kemudian memerintahkan untuk menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, dengan mengamalkan hadits sahih yang berkaitan dengan hal itu, dan mengumumkan bahwa awal puasa Ramadhan tahun ini jatuh pada hari Kamis. Mereka kemudian berusaha melihat hilal bulan Syawal tahun 1404 H, dan mereka benar-benar melihatnya pada malam Jumat.
Berdasarkan hal itu mereka mengumumkan bahwa hari raya Idul Fitri tahun 1404 H jatuh pada hari Jum’at sehingga puasa mereka hanya 28 hari. Padahal bulan Kamariyah tidak mungkin 28 hari, namun kadang 29 hari dan kadang 30 hari. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits sahih. Dengan begitu diketahui bahwa kesalahan terletak pada terlambatnya memulai puasa Ramadhan.
Mereka akhirnya mengumumkan hal itu dan memerintahkan untuk mengqada hari yang ditinggalkan pada awal bulan; untuk membebaskan diri dari tanggung jawab dan untuk menunjukkan kebenaran. Dari sini diketahui bahwa pihak-pihak yang berwenang di Saudi telah mempraktikkan hukum syariat dengan sepenuhnya.
Ketiga, tafsir firman Allah Ta’ala,
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Allah mewajibkan orang-orang yang sedang mukim (tidak sedang dalam perjalanan jauh) dan sehat agar melaksanakan puasa Ramadhan. Adapun orang yang sakit sehingga tidak mampu menjalankan puasa, atau sakitnya akan tambah parah jika dia memaksakan diri untuk berpuasa, atau sedang dalam perjalanan jauh (musafir) maka dia boleh tidak berpuasa lalu mengerjakan puasa di lain hari untuk mengqada puasa yang dia tinggalkan sebagai bentuk kemudahan dan rahmat dari Allah untuk hamba-hamba-Nya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.