Istri Yang Ditinggal Wafat Suami Menjalani ‘Iddah Di Rumah Almarhum Suami Dan Tidak Keluar Tanpa Ada Keperluan Atau Hal Darurat |
Pertanyaan
Ada yang berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki meninggal, maka istrinya tidak boleh melihat atau menyentuhnya. Demikian juga bila istri meninggal. Apabila si istri tetap bersikeras untuk melihat suaminya, maka orang-orang akan menegurnya, “Ikatan perkawinanmu sudah putus dengannya dan mengapa kamu masih mau melihatnya?”
Apabila seseorang meninggal dan belum dikuburkan, pada mata istrinya diikatkan secarik kain kemudian dia diantar ke rumah ayahnya lalu menetap di sana hingga masa idahnya habis. Dengan kata lain, seorang perempuan dalam masa idah tidak boleh keluar rumah. Namun, masalahnya adalah rumah suaminya ada, tetapi istri diantar ke rumah ayahnya.
Apakah tindakan ini diperbolehkan? Benarkah seorang istri tidak boleh melihat mayat suaminya dan demikian juga sebaliknya dengan suami? Apakah istri dalam masa idah boleh pergi ke rumah ayahnya, ibunya atau kerabatnya ketika ada berita dukacita atau sukacita? Benarkah bila pergi ke suatu tempat, dia harus mengikatkan secarik kain pada matanya?
Jawaban
Istri yang ditinggal wafat suami harus menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari jika tidak hamil, baik istri sudah tua atau masih muda. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
” Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Seorang istri harus menjalani masa idahnya di rumah suaminya yang meninggal dan tidak boleh keluar rumah kecuali jika ada kebutuhan atau hal darurat, seperti pergi ke rumah sakit ketika sakit atau membeli kebutuhan dari pasar, seperti roti, jika tidak ada orang yang membantunya. Hal itu berdasarkan riwayat dari Furai’ah binti Malik, ia berkata,
“Suami saya keluar untuk meminta pertolongan kepada orang-orang kafir. Ketika dia sampai di penghujung jalan, mereka membunuhnya. Saya menerima kabar kematiannya saat saya berada di rumah yang jauh dari rumah keluarga saya. Lantas saya menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menceritakan hal itu. Saya katakan, ‘Saya menerima kabar kematian suami saat saya berada di rumah yang jauh dari rumah keluarga saya padahal suami saya tidak meninggalkan nafkah atau harta untuk ahli warisnya. Dia tidak mempunyai rumah. Jika saya pindah ke rumah keluarga atau saudara-saudara saya, niscaya itu akan mempermudah urusanku.” Nabi bersabda, “Pindahlah.” Ketika saya keluar masjid atau ke ruangan saya, ia memanggil saya atau menyuruh seeorang memanggil saya. Ia lantas bersabda, “Tetaplah di rumah, tempat kamu menerima kabar kematian suamimu, hingga masa idah habis.” Asma berkata, “Lalu Saya menunggu di sana empat bulan sepuluh hari. Kemudian Utsman mengutus seseorang kepada saya dan saya memberitahu hal tersebut, maka dia pun menetapkan seperti itu.”
Hadits diriwayatkan oleh lima imam hadis (Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) dan disahihkan oleh Tirmidzi. Imam Nasa’i dan Ibnu Majah tidak menyebutkan dalam hadis tersebut “pengutusan yang dilakukan oleh Utsman.” Beberapa ulama dengan hadis ini menjelaskan bahwa istri yang ditinggal wafat suami menjalani masa idah di rumah, tempat dia menerima berita kematian suaminya, dan dia tidak boleh keluar rumah.
Perempuan berkabung karena suaminya meninggal harus tidak mengenakan pakaian bagus tetapi boleh mengenakan pakaian biasa; harus menghindari seluruh jenis wewangian; dan tidak memakai perhiasan emas, perak, dan celak karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihish Shalatu was Salam melarang orang yang sedang berkabung menggunakan hal-hal tersebut.
Perempuan yang sedang berkabung boleh berbicara dan duduk bersama mahramnya dan boleh bekerja di rumah dan melakukan keperluannya. Larangan melihat suami ketika meninggal atau melihat fotonya tidaklah benar. Dalilnya berdasarkan riwayat yang menjelaskan bahwa Asma` binti ‘Umais memandikan suaminya (Abu Bakar) ketika wafat. Dasar lainnya adalah riwayat yang berasal dari Aisyah bahwasanya dia berkata,
“Seandainya kami mengalami kembali perkara yang telah kami alami, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya akan dimandikan oleh istri-istrinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.