Hukum Penyalahgunaan Obat Pencegah Kehamilan Karena Memiliki Banyak Anak

5 menit baca
Hukum Penyalahgunaan Obat Pencegah Kehamilan Karena Memiliki Banyak Anak
Hukum Penyalahgunaan Obat Pencegah Kehamilan Karena Memiliki Banyak Anak

Pertanyaan

Apa hukum meminum obat dan pil pencegah kehamilan bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengingat bahwa jumlah anak yang berlebihan memerlukan perjuangan, menimbulkan banyak kesulitan, dan memberikan pandangan negatif baik dari sisi kemanusiaan maupun agama, (terutama) di sebagian negara-negara Eropa atau negara yang berkarakter sama dalam hal kehidupan?

Jawaban

Hukum mengonsumsi obat dan pil pencegah kehamilan itu beragam tergantung tujuan, karakter obat-obatan, pengaruhnya terhadap istri, persetujuan suami, dan waktu penggunaan. Terkait dengan tujuan penggunaan, terkadang wanita mengonsumsi obat tersebut hanya untuk menjaga penampilan. Yang seperti ini berarti menentang keputusan Allah Jalla wa ‘Ala, karena Dia telah mensyariatkan pernikahan dan memotivasi hamba-Nya untuk melakukannya.

Dan, di antara tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan. Diriwayatkan dari Ma`qil bin Yasar radhiyallahu `anhu yang menyebutkan bahwa,

جاء رجل إلى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقال: إني أصبت امرأة ذات حسب ومنصب ومال، إلا أنها لا تلد، أفأتزوجها؟ فنهاه، ثم أتاه الثانية فقال له مثل ذلك، ثم أتاه الثالثة فقال له: “تزوجوا الودود الولود، فإني مكاثر بكم الأمم

“Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata, “Sesungguhnya aku telah bertemu dengan seorang wanita yang berasal dari keturunan yang baik, memiliki kedudukan, dan mempunyai harta, namun dia tidak dapat memberikan anak. Apakah aku boleh menikahinya?” Rasulullah melarangnya. Kemudian lelaki tadi mendatangi beliau untuk kedua kalinya, dan beliau pun menyampaikan jawaban yang sama. Kemudian dia mendatangi beliau untuk ketiga kalinya, lalu beliau bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur. Karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat yang lain.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim)

Hakim menyebutkan bahwa sanad hadits ini sahih. Dengan demikian, status wanita yang mengonsumsi pil dan obat pencegah kehamilan hanya agar penampilan tubuhnya tetap terlihat menarik sama dengan wanita mandul. Padahal Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah melarang untuk menikahi wanita mandul karena dia tidak mampu memberikan keturunan.

Artinya, berdasarkan makna umum dari hadits di atas, wanita itu diharamkan mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan jika tujuannya hanya agar tetap terlihat menarik. Konsumsi pil dan obat itu dibolehkan apabila pencegahan kehamilan dilakukan karena kondisi yang dialami oleh wanita tersebut, seperti adanya gangguan atau ketidakmampuan fisik. Misalnya, jika seorang wanita bertubuh kurus harus memiliki anak setiap tahun, maka tentunya dia tidak kuat menanggung beban mengandung dan melahirkan, dimana dia merasa akan menghadapi risiko besar jika meneruskan kehamilannya.

Jika itu yang menjadi alasannya memutuskan untuk mengonsumsi pil dan obat pencegah kehamilan dalam jangka waktu dan dosis tertentu demi menghilangkan dampak negatif tersebut, maka itu boleh dia lakukan, asalkan bahaya yang ditimbulkan dari konsumsi obat-obatan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan risiko kehamilan yang berusaha untuk dihindari.

Sebab, konsumsi pil pencegah kehamilan itu terkadang dapat menganggu kelancaran siklus haid, menimbulkan kerusakan rahim, tekanan darah tinggi, jantung berdebar-debar, dan efek samping lainnya, menurut informasi dari para ahli kedokteran. Landasan kebolehan mengonsumsi obat pencegah kehamilan dalam kondisi fisik yang tidak memungkinkan adalah dalil-dalil umum yang menunjukkan perintah untuk menarik kemudahan dan menghindari kesulitan. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

” Allah tidak berkehendak menyulitkanmu.” (QS. Al-Maa-idah: 6)

Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,

لا ضرر ولا ضرار

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

Dari ayat dan hadits ini, serta dalil-dalil lainnya dari Al-Quran dan Sunnah yang senada, para ulama merumuskannya menjadi sebuah kaidah yang berbunyi, “Adanya kesulitan dapat menarik kemudahan”. Adapun tentang perbedaan hukum yang muncul akibat perbedaan karakter alamiah pil dan obat pencegah kehamilan, maka penjelasan detailnya seperti berikut ini:

Jika obat dan pil pencegah kehamilan yang akan dikonsumsi itu bersih dari efek-efek negatif berbahaya yang setara dengan risiko kehamilan yang ingin dihindari, maka pemakaiannya diperbolehkan, seperti yang telah dijelaskan. Namun jika konsumsi obat pencegah kehamilan tersebut ternyata memiliki bahaya yang sama dengan risiko mengandung, maka hukumnya tidak boleh. Sebab, bahaya tidak boleh dicegah dengan hal yang juga berbahaya.

Pedoman untuk menentukan tingkat bahaya dalam masalah ini adalah pendapat para ahli yang kompeten di bidangnya, dengan melakukan penelitian terhadap pil dan obat pencegah kehamilan itu, lalu menganalisis risiko dan efeknya. Adapun mengenai perbedaan hukum penggunaan obat pencegah kehamilan berdasarkan persetujuan suami, maka boleh atau tidaknya tergantung apakah seorang suami menyetujuinya atau malah melarangnya.

Bahkan, dalam beberapa kasus, suami sama sekali tidak mengetahui kalau istrinya mengonsumsi pil dan obat pencegah kehamilan. Oleh karena itu, menurut syariat, istri wajib meminta persetujuan suami, dan itu hanya dilakukan saat ada faktor syar’i yang mengharuskannya mengonsumsi obat pencegah kehamilan, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Bahkan dalam kondisi seperti itu suami wajib mengizinkannya. Apabila tidak ada faktor syar’i yang mengharuskannya untuk mengonsumsi obat-obatan tersebut, maka istri sama sekali tidak boleh melakukannya, apalagi meminta persetujuan suaminya. Bahkan jika istri meminta izin, suami tidak boleh mengabulkannya. Waktu penggunaan pil dan obat-obatan pencegah kehamilan itu juga memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda.

Sebab, wanita terkadang menggunakannya sebelum berhubungan badan, baik melalui obat oral (ditelan) atau media lainnya. Terkadang wanita menggunakannya setelah ada hubungan seksual dengan suaminya, baik itu pada saat masih berbentuk sperma, segumpal darah, segumpal daging, atau sesudah masa peniupan ruh kepada janin (empat bulan). Jika pencegah kehamilan itu digunakan sesudah masa peniupan ruh, maka diharamkan secara mutlak. Ini berdasarkan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,(8) karena dosa apakah dia dibunuh,” (QS. At-Takwir: 8-9)

Kata “al-ma’udah” pada ayat tersebut berarti bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup, yang pernah dilakukan oleh orang Arab pada masa Jahiliyah. Ini merupakan penjelasan dari at-Thabari, al-Quthubi, dan yang lainnya. Jika janin itu sudah berbentuk segumpal daging yang telah ditiupkan ruh, lalu meninggal akibat konsumsi pil dan obat pencegah kehamilan, maka dianggap sama seperti tindakan pembunuhan.

Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ayat tersebut berlaku pada pelakunya. Jika konsumsi obat-obatan itu dilakukan sebelum masa peniupan ruh, maka rincian hukumnya mengikuti penjelasan-penjelasan sebelumnya, yaitu tergantung dari tujuannya. Adapun mengenai wanita yang mengonsumsi pil pencegah kehamilan karena tidak ingin memiliki banyak anak, maka tidak perlu dihiraukan.

Sebab, setiap jiwa yang lahir ke dunia sudah Allah tetapkan rezeki, ajal, dan amalnya. Untuk itu, sudah sepatutnya manusia berprasangka baik kepada Allah, karena Allah akan memberikan keputusan kepada seorang hamba sesuai dengan prasangka hamba itu sendiri.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 443

Lainnya

Kirim Pertanyaan