Taruhan |
Pertanyaan
Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang teman tentang larangan bersumpah dengan selain Allah. Berikut ini adalah diskusi kami:
Saya mengatakan: Berdasarkan apa yang pernah saya pelajari saat saya masih kecil, besumpah dengan selain Allah termasuk syirik asghar (syirik kecil). Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.Ia telah mengatakan, “Syirik kecil adalah bersumpah dengan selain Allah,” Begitu juga perkataan seseorang, “Aku tidak memiliki tempat bergantung selain Allah dan kamu,” “Aku menjadi tanggung jawab Allah dan kamu,” dan seterusnya. Sementara itu, ia mengatakan: Bersumpah dengan Al-Qur’an itu boleh karena ia termasuk sifat Allah Ta’ala. Banyak sekali jawaban dari sahabat-sabahat mujtahid yang mendukung pendapatnya.
Oleh karena itu, kami butuh pencerahan dari Lembaga Fatwa karena kami tahu pasti bahwa Lembaga Fatwa selalu meneliti dan menggunakan hadis-hadis sahih. Kami berharap agar Anda bersedia memberikan fatwa dan semoga Anda mendapatkan balasan pahala. Perlu diketahui bahwa kami mengadakan taruhan dalam masalah ini. Oleh karena itu, kami berharap fatwa Anda menyinggung boleh tidaknya taruhan.
Jawaban
Mengenai bersumpah dengan selain Allah dan perkataan seseorang, “Seandainya Allah berkehendak dan engkau berkehendak,” “Aku tidak memiliki tempat bergantung kecuali Allah dan kamu,” dan yang sejenisnya, jika dalam hatinya dia bermaksud mengagungkan orang atau makhluk yang dia jadikan sebagai sumpah, maka jika dia tidak tahu, dia harus diberi tahu. Jika setelah itu dia tetap melakukannya, maka secara prinsip dia sama dengan orang yang mengetahui; keduanya telah melakukan syirik besar.
Begitu juga jika seseorang mengatakan, “Seandainya Allah menghendaki dan kamu menghendaki” dan “Seandainya tidak karena Allah dan kamu.” Jika dia memiliki keyakinan bahwa orang itu adalah sekutu Allah, tidak akan terjadi sesuatu kecuali dengan kehendak Allah dan kehendak orang itu, maka jika dia tidak tahu, maka dia harus diberi tahu. Namun, jika setelah itu dia tetap melakukannya, maka dia hukumnya sama dengan orang yang mengetahui; keduanya telah melakukan syirik besar.
Adapun jika dia bersumpah dengan selain Allah hanya dalam lisan sementara hatinya tidak berniat untuk mengagungkan orang atau benda yang dia jadikan sumpah dan jika dia mengatakan, “Seandainya Allah menghendaki dan kamu menghendaki” dan “Seandainya tidak karena Allah dan kamu,” jika dia tidak tahu, maka dia harus diberi tahu. Namun, jika setelah itu dia tetap melakukannya, maka dia hukumnya sama dengan orang yang mengetahui keduanya telah melakukan syirik kecil.
Meskipun hal itu tergolong syirik kecil, bukan berarti bahwa seorang muslim boleh menyepelekannya karena sesungguhnya syirik kecil adalah dosa paling besar setelah syirik besar. Ibnu Mas`ud Radhiyallahu `Anhu berkata, “Aku lebih suka melakukan sumpah palsu tetapi atas nama Allah daripada melakukan sumpah yang sesungguhnya tetapi dengan selain Dia.” Sumpah palsu termasuk dosa besar. Meskipun demikian, Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘Anhu menganggap dosa syirik kecil lebih besar darinya.
Alasannya adalah sumpah berarti mengagungkan sesuatu yang dijadikan sumpah. Inilah hukum asalnya. Adapun pernyataan seseorang, “Seandainya Allah menghendaki dan kamu menghendaki” dan yang sejenisnya, maka sesungguhnya huruf “wawu” -dalam bahasa Indonesia adalah konjungtor “dan” – mengandung konsekuensi persamaan (ksesejajaran) antara ma’thuf (nomina setelah huruf “wawu”) dan ma’thuf ‘alaih (nomina sebelum huruf “wawu”). Dengan kata lain, “ma’thuf” sama derajatnya dengan “ma’thuf ‘alaihi,” padahal Allah ‘Azza wa Jalla,
” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa : 11)
Adapun bersumpah dengan atau atas nama Al-Qur’an, maka persoalannya lain lagi karena Al-Qur’an adalah Kalam Allah sedangkan Kalam-Nya Jalla wa ‘Ala termasuk sifat-Nya. Sementara itu, sumpah yang sesuai dengan syariat adalah sumpah atas nama Allah, dengan salah satu Asma-Nya atau dengan salah satu sifat-Nya. Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,
” Barangsiapa hendak bersumpah, maka hendaklah bersumpah dengan menyebut nama Allah atau diam.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar.)
Melakukan taruhan dalam masalah ini termasuk perlombaan, yang tujuannya adalah untuk kemaslahatan (kepentingan) agama. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah Rahimahullah, berkata, “Perlombaan yang dibolehkan boleh disertai hadiah jika hal itu bermanfaat bagi kepentingan agama.” Contohnya adalah taruhan yang dilakukan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, yang merupakan salah satu pendapat dalam mazhab (Hanafi). Al-Ba`li juga berkomentar dalam konteks pernyataan Syaikhlul Islam dalam “al-Ikhtiyarat”: Aku katakan, secara eksplisit, hal itu menunjukkan bolehnya taruhan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi. Tujuannya adalah untuk menegakan agama dengan jihad dan ilmu. Selesai.
Taruhan yang dilakukan oleh Abu Bakar tersebut telah diriwayatkan secara sahih di dalam “Al-Musnad,” Sunan at-Tirmidzi, dan kitab-kitab hadits yang lain,
“Pada awal-awal Islam, Persia dan Romawi terlibat perang lalu Persia berhasil mengalahkan Romawi. Berita itu akhirnya sampai ke telinga penduduk Makkah sehingga kaum musyrikin gembira mendengarnya karena orang-orang Majusi lebih dekat kepada mereka daripada Ahli Kitab. Sementara itu, kaum muslimin merasa bersedih karena Ahli Kitab lebih dekat kepada mereka daripada orang-orang Majusi. Kemudian Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu menyampaikan kabar itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga Allah menurunkan firman-Nya, Alif Laam Miim (1) Bangsa Romawi telah dikalahkan, (2) di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, Mendengar hal itu, Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu langsung keluar dan mengajak kaum musyrikin bertaruh; jika Romawi kalah dalam beberapa tahun ke depan, dia berhak mengambil barang taruhan, tetapi jika Romawi tidak dapat dikalahkan, mereka berhak mengambil barang taruhan.”
Bukti dalil: Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu pernah melakukan hal itu dan Rasulullah mengakui lalu membenarkannya. Seandainya taruhan tidak boleh dilakukan dalam masalah seperti ini, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskannya (melarangnya) karena, berdasarkan kesepakatan para ulama, penjelasan Rasulullah tidak boleh terlambat dari saat dibutuhkan sementara saat itu penjelasan (Rasulullah) dibutuhkan.
Dari sini dapat diketahui bahwa taruhan (dalam masalah agama) boleh dilakukan sedangkan taruhan dalam permasalahan ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori ini karena keduanya sama-sama bertujuan untuk kepentingan agama. Dalam taruhan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu terdapat kemaslahatan bagi umat Islam karena ia mengandung kemaslahatan agama. Apa yang diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Romawi setelah itu akan kalah akhirnya terbukti. Dengan kemenangan itu, muncullah kelompok yang lebih dekat dengan kaum muslimin.
Masalah yang ditanyakan juga mengandung kemasalahatan agama karena ia termasuk dalam bab Tauhid Uluhiyah (tauhid ketuhanan), yang pada hakikatnya merupakan salah satu cabang ilmu tentang Allah sementara ilmu tentang Allah merupakan sebaik-baik ilmu. Namun, hadiah yang disediakan bagi pihak yang menang tidak boleh berasal dari keduanya (peserta taruhan) atau salah satu dari keduanya, tetapi ia harus berasal dari orang yang tidak ikut bertaruh.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.