Hukum “at-Tawarruq” Dan Menjual Barang Dagangan Sebelum Membelinya

3 menit baca
Hukum “at-Tawarruq” Dan Menjual Barang Dagangan Sebelum Membelinya
Hukum “at-Tawarruq” Dan Menjual Barang Dagangan Sebelum Membelinya

Pertanyaan

Ayah saya melakukan sebuah transaksi, yang pada zaman sekarang ini dinamakan kredit. Misalnya, ayah saya mengambil untung 200 riyal dari setiap utang sebesar 1000 riyal. Ketika ada orang yang ingin meminjam sejumlah uang, dia mengabari ayah saya. Kemudian, ayah saya pergi ke pasar dan membeli kain sesuai dengan jumlah yang diminta. Misalnya, dia ingin meminjam uang sebesar 6000 riyal, maka ayah saya membeli kain seharga 6000 riyal dan tidak diambil terlebih dahulu dari penjualnya.

Setelah itu, orang yang hendak berutang tadi pergi ke pasar bersama ayah saya dengan membawa juru catat (notaris) dan dua orang saksi. Lalu, orang yang hendak meminjam itu membeli kain dari ayah saya, kemudian langsung menjualnya lagi kepada pemilik toko (tempat ayah saya membeli). Dia pun menerima uang hasil penjualan kain tersebut. Sementara kainnya tetap ada di toko si penjual. Dengan kata lain, kain itu dibeli dari pemilik toko, lalu pemilik toko itu membelinya kembali. Dia mengatakan bahwa dalil yang membolehkan transaksi seperti itu adalah ayat,

إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

” apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah : 282)

Apakah makna ayat ini dapat dipraktikkan pada zaman sekarang?

Jawaban

Pertama, jika ayah Anda menjual barang dagangan yang belum dibeli dari pasar (toko) kepada orang yang menjadi konsumennya dengan sistem utang, maka transaksi itu hukumnya tidak boleh. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

لا تبع ما ليس عندك

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu.”

Kedua, menjual barang yang harga aslinya 1000 riyal secara kredit, dengan nilai pelunasan 1200 riyal karena ada tempo tertentu, hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah pengertian umum dari firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah : 282)

Ketiga, ayah Anda harus menerima terlebih dahulu barang dagangan yang dia beli agar transaksi kedua (yang dilakukannya dengan peminjam) menjadi sah. Diriwayatkan secara sahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

من اشترى طعامًا فلا يبعه حتى يكتاله

“Siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya kembali hingga benar-benar menakarnya.” (HR. Muslim)

Dalam masalah makanan, juga diriwayatkan bahwa orang yang membeli makanan tidak boleh menjualnya kembali hingga dia betul-betul menerimanya. Ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok sahabat. Adapun dalam hal selain makanan, telah diriwayatkan dalam hadits Hakim bin Hizam dari riwayat Imam Ahmad, bahwa dia pernah bercerita,

قلت: يا رسول الله: إني أشتري بيوعًا، فما يحل لي منها، وما يحرم علي؟ قال: إذا اشتريت شيئًا فلا تبعه حتى تقبضه

“Saya (Hakim bin Hizam) bertanya kepada Rasulullah, ‘Saya membeli barang dagangan, maka apa yang diharamkan dan apa yang dihalalkan untuk saya?’ Beliau bersabda, ‘Apabila engkau membeli barang, janganlah menjualnya sebelum terjadi serah terima.”

Selain itu, diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan Abu Dawud dari hadits Zaid bin Tsabit,

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن تباع السلعة حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang menjual kembali barang dagangan di tempat terjadinya transaksi jual beli, hingga para pedagang membawa barang dagangannya ke tempat tinggal mereka.”

Diriwayatkan oleh as-Sab’ah (tujuh perawi) kecuali Tirmidzi, dari hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

من ابتاع طعامًا فلا يبعه حتى يستوفيه

“Siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya kembali hingga dia selesai menerimanya.”

Ibnu Abbas berkata, “Saya rasa ini menunjukkan bahwa semua barang memiliki standard aturan yang sama. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits-hadits di atas menegaskan larangan menjual barang dagangan yang telah dibeli, kecuali setelah diterima dan dibawa pulang.”

Keempat, jika ayah Anda telah menerima kain itu, maka dia boleh menjualnya kembali. Kelima, orang yang membeli barang dagangan dari ayah Anda harus menerima barang itu terlebih dahulu agar dia boleh menjualnya lagi.

Keenam, orang yang membeli barang secara utang untuk dijual secara kontan karena membutuhkan uang tunai, hukumnya boleh. Demikian menurut pendapat yang paling sahih dari kedua pendapat ulama yang berbeda. Hal itu dinamakan “at-Tawarruq”. Namun dia tidak boleh menjualnya kembali kepada penjual aslinya, dengan harga yang lebih murah dibandingkan ketika dia membelinya.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 4008

Lainnya

Kirim Pertanyaan