Mewakili Seseorang Yang Melakukan Ibadah Haji Untuk Melempar Jumrah Tanpa Izin Dari Yang Bersangkutan

2 menit baca
Mewakili Seseorang Yang Melakukan Ibadah Haji Untuk Melempar Jumrah Tanpa Izin Dari Yang Bersangkutan
Mewakili Seseorang Yang Melakukan Ibadah Haji Untuk Melempar Jumrah Tanpa Izin Dari Yang Bersangkutan

Pertanyaan

Saya pernah melaksanakan ibadah haji sebanyak dua kali. Waktu itu para pembimbing haji sangat sedikit. Untuk itu kami mengikuti teman-teman kami yang sudah pernah haji sebelumnya.

Sekarang, setelah para pembimbing haji banyak ditemui, saya mengetahui bahwa karena kebodohan kami, waktu itu kami melakukan kesalahan-kesalahan sebagai berikut:

Pertama: Kami tidak mengetahui jenis-jenis haji. Waktu itu kami berniat mengerjakan haji Ifrad, namun kami mengerjakan haji dan umrah dengan satu ihram. Kami melakukan ihram umrah dari masjid Tan’im, langsung setelah keluar dari Mina.

Kedua: Pada hari Tarwiyah kami berada di al-Akhsyabain (dua gunung di Mekah, yaitu gunung Abu Qubais dan gunung yang berhadapan dengannya) hingga hari Arafah.

Ketiga: Kami wukuf di Arafah hingga waktu salat Zuhur dan Asar, setelah itu kami kembali ke tapal batas yang lama hingga waktu Magrib.

Keempat: Kami mengambil pohon-pohon yang ada di Mina yaitu pohon siwak dan kayu yang masih hijau.

Kelima: Pada hari Tasyriq, kami melempar jumrah sebelum matahari tergelincir.

Keenam: Salah seorang di antara kami mewakili temannya untuk melempar jumrah tanpa izin dari yang bersangkutan, dan yang diwakili tidak mengulangi melempar jumrah.

Mohon kami diberi fatwa mengenai konsekuensi dari apa yang telah kami lakukan tersebut. Semoga Allah memberikan pahala kepada Anda sekalian. Perlu diketahui bahwa sebagian dari kami telah melaksanakan haji lagi setelah itu. Alhamdulillah.

Jawaban

Pertama: Apa yang kalian lakukan, yaitu melakukan haji Ifrad, kemudian melakukan ihram dari Tan’im untuk mengerjakan umrah setelah selesai mengerjakan manasik haji, adalah hal yang dibolehkan. Meski yang lebih utama adalah melakukan ihram Tamattu’ atau Qiran dan disertai dengan menyembelih dam, bagi orang yang mampu melakukan. Atau berpuasa selama sepuluh hari; tiga hari dikerjakan di Mekah, dan tujuh hari saat sudah pulang ke rumah.

Kedua: Yang lebih utama bagi orang yang sedang haji adalah: saat hari Tarwiyah, yaitu tanggal 8 Dzul Hijjah, dan malam tanggal 9 Dzul Hijjah, dia hendaknya bermalam di Mina. Meskipun demikian, jika pada hari itu dia berada di tempat yang lain, hukumnya sah-sah saja.

Ketiga: Jika waktu itu kalian belum keluar dari Arafah sebelum matahari terbenam, maka wukuf kalian tetap sah, selama kalian masih melakukannya di Arafah. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam,

عرفة كلها موقف وارفعوا عن بطن عرنة

“Arafah, kesemuanya adalah tempat untuk mengerjakan wuquf. Oleh karena itu, naiklah kalian dari lembah Urunah.”

Jika waktu itu kalian telah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam dan kalian tidak kembali ke Arafah maka kalian wajib membayar fidyah dengan menyembelih seekor kambing di Mekah. Kambing tersebut harus memenuhi syarat untuk berkorban, kemudian dibagikan kepada fakir miskin Mekah.

Keempat: Apa yang telah kalian lakukan, yaitu mengambil sebagian pohon yang ada di Mina karena ketidaktahuan dari kalian, maka kalian tidak perlu membayar apa-apa.

Kelima: Apa yang telah kalian lakukan, yaitu melempar jumrah pada hari Tasyriq sebelum matahari tergelincir, hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, masing-masing dari kalian wajib menyembelih hewan fidyah yang memenuhi syarat untuk berkurban, lalu dibagikan kepada fakir miskin Mekah.

Keenam: Tidak boleh hukumnya melontar jumrah untuk orang lain, kecuali dengan izin atau kuasa dari yang bersangkutan dan dia memang tidak mampu melontar sendiri. Untuk itu, melontar untuk orang lain tanpa kuasa dari orang yang memiliki uzur, hukumnya tidak sah.

Oleh karena itu, orang yang diwakili tanpa izin darinya tersebut harus menyembelih fidyah di Mekah dengan hewan yang memenuhi syarat untuk dijadikan kurban, lalu dibagikan kepada para fakir miskin.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 20871

Lainnya

Kirim Pertanyaan