Zakat Buah-buahan

1 menit baca
Zakat Buah-buahan
Zakat Buah-buahan

Pertanyaan

Seorang pedagang meminta saya untuk menuliskan pertanyaan kepada Anda sebagai berikut: Bahwa dia memiliki kebun luas yang ditanami apel dan beberapa jenis buah-buahan lain.

Dia menanyakan bagaimana cara mengeluarkan zakat buah-buahan tersebut. Sebagai informasi, pengairan dilakukan dengan membuat sumur bor (artesis), dan informasi tambahan bahwa hasil dari kebun tersebut dia investasikan untuk proyek lain sebelum lewat haul untuk beberapa tahun lamanya.

Seperti itu kondisi keuangan setiap kali mendapatkan hasil kebun. Dia juga harus membayar hutang ke beberapa bank atau kreditor lainnya. Bagaimanakah hukum zakat yang telah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya dan apa yang harus saya perbuat? Apa nasihat Anda untuknya? Mengingat dia banyak melakukan transanksi dengan bank, mengambil bunganya dan membagikannya juga.

Mohon jawaban setiap detail permasalahan di atas semoga Anda diberi pahala oleh Allah, dan semoga Allah memberi balasan sebaik-baiknya atas pengabdian Anda untuk Islam dan kaum Muslimin.

Jawaban

Pertama, hasil penjualan buah apel dan sejenisnya seperti delima, jeruk, tomat dan lain sebagainya, jika digunakan untuk kebutuhan Anda dan membayar hutang sebelum melewati haul (satu tahun) maka Anda tidak wajib menzakatinya. Namun jika telah melewati haul, padahal hasil penjualan buah Anda ini telah mencapai nisab, maka Anda berkewajiban menzakatinya sebesar 2,5 %.

Kedua, tentang zakat buah-buahan yang disebutkan dalam pertanyaan secara global ini perlu diperinci; jika buah-buahan tersebut termasuk biji-bijian seperti jawawut, beras, jagung dan semisalnya, atau sejenis anggur dan kurma maka buah-buahan ini wajib dizakati sebesar seperdua puluh karena pengairannya membutuhkan biaya -sebagaimana Anda sebutkan- jika telah mencapai nisab yaitu lima wasak atau sama dengan tiga ratus sha` menurut sha` Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam yang banyaknya empat cakupan penuh dua tangan ukuran sedang.

Bunga bank termasuk riba yang diharamkan, dan merupakan suatu kewajiban untuk meninggalkan transaksi yang mengandung riba dan bertobat kepada Allah karena telah melakukan hal tersebut, serta menginfakkan uang riba yang diperoleh untuk kebaikan sebagai tindakan membebaskan kekayaan dari riba dan demi menyempurnakan tobat.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 11924

Lainnya

Kirim Pertanyaan