Menamai Masjid

3 menit baca
Menamai Masjid
Menamai Masjid

Pertanyaan

Alhamdulillah Wahdahu (segala puji hanyalah bagi Allah saja). Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad yang tidak ada nabi setelahnya. Amma ba’du: Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah mengkaji pertanyaan yang dilayangkan kepada yang terhormat Mufti Umum dari yang mulia Menteri Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan nomor (1/416/334), tanggal 11/2/1416 H. yang dilimpahkan ke Komite ini dari Sekretariat Jenderal Dewan Ulama Senior dengan nomor (1395), tanggal 20/3/1416 H.

Pemohon fatwa mengajukan pertanyaan yang isinya: Merujuk surat dari kementerian dengan nomor (163/K/M), dan tertanggal 11/2/1415 H yang dikirim kepada Anda dalam rangka meminta saran tentang penamaan masjid dengan nama-nama para sahabat atau toko-tokoh Islam, dengan tetap memperhatikan masjid-masjid yang didirikan oleh para dermawan, dan ingin mereka namai dengan nama mereka. Saya harap Anda berkenan memberi penjelasan tentang apa yang saya maksudkan.

Isi surat yang dimaksud adalah: Saya beritahukan kepada Anda bahwa kementerian sedang mengkaji masalah penamaan dan pemberian nomor masjid-masjid di Kerajaan Arab Saudi. Ada usulan bahwa masjid-masjid yang akan dibangun di masa yang akan datang dinamai dengan nama-nama sahabat atau tokoh-tokoh umat Islam, dengan tetap memperhatikan masjid-masjid yang dibangun oleh para dermawan, dan ingin mereka namai dengan nama mereka. Saya harap setelah Anda mengkajinya, Anda berkenan memberikan saran-saran dalam masalah tersebut.

Jawaban

Setelah melakukan pengkajian (terhadap permasalahan yang diajukan) maka Komite menjawab sebagai berikut:

Pertama: berdasarkan penelitian, penamaan masjid-masjid dilakukan dalam beberapa bentuk berikut ini:

1. Nama masjid dikaitkan dengan orang yang membangunnya. Ini merupakan bentuk penyandaran amal kebaikan kepada pelakunya. Itu juga merupakan penyandaran yang nyata, untuk membedakan suatu masjid dari yang lain. Penamaan seperti ini boleh saja, contohnya: Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, disebut juga dengan Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Nama masjid disandarkan pada orang yang salat di dalamnya, atau pada tempat berdirinya. Itu juga bentuk penyandaran yang nyata, guna membedakan masjid tersebut dari yang lain. Penamaan semacam itu boleh dilakukan, seperti: masjid Quba’, dan masjid Bani Zuraiq, sebagaimana terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu `anhuma, dalam hadis tentang berlomba-lomba menuju masjid Bani Zuraiq, dan masjid Suuq sebagaimana diterangkan oleh al-Bukhari -rahimahullah- dengan perkataannya, (Bab: Ulama di Masjid Suuq)

3. Menyandarkan (nama) masjid kepada sifat yang membedakannya dengan masjid-masjid lain, seperti: Masjid Haram, dan Masjid Aqsha, seperti dalam firman (Allah) Ta’ala,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha” (QS. Al-Isra: 1)

Dalam as-Sunnah, telah diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui banyak jalur sanad,

لا تعمل المطي إلا لثلاثة مساجد: المسجد الحرام، والمسجد الأقصى، ومسجدي هذا

” Tidak diperbolehkan menempuh perjalanan melainkan ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Aqsha, dan masjidku ini.”

Di antaranya juga adalah: Masjid Kabir. Beberapa masjid yang berada di jalan antara Mekah dan Madinah juga dinamai dengan Masjid Akbar sebagaimana disebut dalam Sahih al-Bukhari. Ada juga yang dinamakan dengan Masjid Kabir.

Kedua: Menamai masjid dengan nama yang bukan sebenarnya agar dapat dibedakan dan dikenal. Hal ini merupakan fenomena yang sudah banyak terjadi sekarang, karena banyaknya pembangunan dan penyebaran masjid alhamdulillah di kota maupun desa, bahkan dalam satu distrik, sehingga masjid dinamai dengan nama yang membedakannya dari masjid lain.

Masjid dinamai dengan nama salah satu tokoh umat Islam, nama-nama para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan generasi setelahnya, yaitu para tabi`in (yang mengikuti mereka) dengan baik, seperti: Masjid Abu Bakar radhiyallahu `anhu, Masjid Umar radhiyallahu `anhu.

Demikianlah sebagai contoh. Penamaan semacam ini boleh saja, apalagi dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kita mengetahui bahwa beliau juga menamai senjata, perabotan, hewan tunggangan, dan pakaian beliau, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Qayyim -rahimahullah Ta`ala- di awal kitab Zadul-Ma`ad.

Ketiga: Menamai masjid dengan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti: Masjid ar-Rahman, Masjid al-Quduus, Masjid as-Salam. Sebagaimana diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman -dan firman-Nya memisahkan antara yang hak dan yang batil,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin: 18)

Semua masjid adalah milik Allah, tanpa kecuali. Jadi, menamai masjid dengan salah satu nama-nama Allah adalah perkara yang diada-adakan, belum pernah dilakukan sebelumnya. Jadi, sebaiknya tidak dilakukan. Allah adalah Pemberi petunjuk kepada jalan yang benar.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 17845

Lainnya

Kirim Pertanyaan