Mihrab Elektronik

7 menit baca
Mihrab Elektronik
Mihrab Elektronik

Pertanyaan

Saya mengirimkan kepada Anda salinan file mihrab elektronik, yang juga telah diajukan kepada Syekh Yang Terhormat Abdullah Al-Bassam. Saya berharap bahwa Anda dapat memberikan fatwa tentang hukum penggunaan mihrab ini bagi yang ingin memperbanyak shalat dan melakukan tahajud, tanpa harus khawatir akan kesahihan dan urutan Al-Quran yang dibacanya.

Dan kami berharap dapat membantu orang yang shalat agar bisa tenang dalam shalat dan dalam menyerahkan diri sepenuhnya di hadapan Allah `Azza wa Jalla.

Berulang kalinya shalat yang dilakukan dan seringnya membaca Al-Quran melalui metode ilmiah ini dapat menghasilkan kemudahan dalam membaca berbagai ayat, surat, dan juz al-Quran.

Mihrab Elektronik adalah mihrab yang terbuat dari kayu yang elegan yang di tengahnya terdapat layar elektronik persegi panjang. Ukurannya seperti halaman buku setelah diperbesar.

Pada saat mengaktifkannya, alat tersebut dapat mengakses Al-Quran dan bisa berhenti di halaman yang diinginkan hingga dapat tampil dan bisa dibaca dengan jelas dan nyaman oleh orang shalat yang sedang berdiri di mihrab yang jaraknya sekitar dua meter dari layar.

Tatkala orang yang shalat telah selesai membaca halaman di depannya ia menekan jari telunjuk kanannya pada tombol yang terdapat dalam gelang plastik yang ia letakkan di pergelangan tangan kirinya lalu halaman yang telah selesai dibaca menghilang, lalu halaman berikutnya akan tampil.

Orang yang shalat dapat menentukan juz, atau surat yang akan dibaca dalam shalatnya, dan bacaannya terus berurutan sampai shalatnya selesai tanpa khawatir akan kebenaran dan urutan bacaan yang akan dapat membantu — dengan izin Allah — orang menikmati shalatnya dengan tenang dan khusyuk.

Mihrab juga dilengkapi dengan memori elektronik yang memungkinkan jamaah setelah itu untuk melanjutkan shalatnya dari akhir ayat yang dibacanya jika ia menginginkan demikian.

Jenis pertama (mihrab elektronik) dalam bentuk huruf besar yang diharapkan dapat digunakan di masjid-masjid umum dan pribadi, dan dalam istana-istana dan rumah-rumah yang ingin didirikan tempat khusus shalat di salah satu sudut rumah, dan di pojok tempat shalat ini dilengkapi dengan alat yang disebut Mihrab Elektronik.

Jawaban

Hukum dasar agama dalam hal ibadah landasannya adalah mengikuti yang dicontohkan, mudah dan sederhana dalam beribadah, serta jauh dari hal-hal yang membebani diri dan berlebihan dalam pengamalannya.

Ibadah itu sifatnya ketetapan yang berlandaskan kepada teks dan sumber-sumbernya, sehingga Allah Ta`ala tidak disembah kecuali sesuai dengan yang disyariatkan.

Di antaranya pelaksanaan shalat sesuai dengan cara yang dianjurkan yang diwariskan oleh kaum Muslimin dan tradisi pelaksanaannya telah lama diamalkan. Di dalamnya terdapat bacaan Al-Quran dan di antara rukunnya membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat.

Surat yang mulia ini secara turun-temurun dihafal oleh kaum Muslimin bahkan oleh yang buta huruf di antara mereka. Orang yang tidak bisa membaca atau menghafalnya dapat menggantinya dengan berzikir, karena tidak diwajibkan kalau ada udzur.

Tugas seorang Muslim pada shalat-shalat wajib dan tidak wajib adalah menyibukkan diri dengan shalatnya, menghadirkan hati, ketenangannya serta ketenangan panca inderanya, dan ketundukannya di hadapan Rabbnya:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’”. (QS. Al Baqarah: 238) dan memusatkan pikirannya agar dapat khusyuk dan merenungkan apa yang ia baca.

Oleh karena itu telah menjadi ijmak kaum Muslimin bahwa berbicara dalam shalat hukumnya haram. Mereka juga sepakat bahwa perbuatan yang dilakukan terus menerus dalam shalat tanpa darurat membatalkan shalat.

Ada beberapa hadits yang menyebutkan larangan membuat-buat dalam perkara ibadah. Oleh karena itu para ulama melarang berlebih-lebihan dalam bacaan, makhraj huruf, qalqalah, imalah, idgham, dan sejenisnya, karena hal itu akan membutuhkan energi dan mengantarkannya kepada kesulitan, dan dapat melalaikannya dari maksud shalat dan dari menghadirkan hati di saat menunaikannya.

Diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim dari hadis Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن في الصلاة شغلاً

“Sesungguhnya di dalam shalat ada satu kesibukan”.

Dan sabda beliau shallallahu `alaihi wa sallam, “syuglan” (Kesibukan) dalam bentuk nakirah (tak takrif) menunjukkan kebesaran, yakni: kesibukan yang besar; karena shalat adalah munajat kepada Allah Ta`ala, yang menuntut pengerahan jiwa seorang hamba secara total kepada Rabbnya. Tidak boleh menyibukkan diri kepada selain-Nya.

Shalat adalah pekerjaan atau ibadah yang mencegah berbicara dan perkara lainnya yang dilarang ketika shalat. Dan itulah kebiasaan orang-orang saleh terdahulu, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka.

Diriwayatkan dari Mujahid dia berkata, “Jika Ibnu az-Zubair berdiri dalam shalat dia bagaikan tonggak”. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih.

Jika Anda tahu pengenalan dasar-dasar agama ini maka hendaklah diketahui bahwa bacaan salat melalui alat ini (Mihrab Elektronik) termasuk di antara perkara yang dilarang agama.

Memulai shalat dengan niat yang telah didahului dengan mengaktifkan alat tersebut dengan tahapan-tahapannya, dan berpaling atau lari dari tuntutan shalat dengan melakukan banyak perbuatan akan dapat menghilangkan kekhusyukan, menghilangkan sebagian sunah-sunah shalat, dan menambahkan sesuatu yang baru yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa sallam, serta adanya pengubahan keadaan shalat yang benar dan keterangannya secara rinci seperti berikut ini:

Banyaknya pekerjaan dari berbagai sisi:

Menyibukkan tangan berulang kali dengan menekan stopkontak untuk menjalankannya, membuka daftar isi kemudian membuka surat atau halaman, kemudian menekannya untuk membuka halaman lain dan mencari surat yang ingin dibaca.

Dan menyibukkan mata di saat berdiri dengan mengarahkan dan meluruskan pandangan ke layar serta menggerak-gerakan mata, serta memperhatikan baris-barisnya, dan mengaktifkan pikiran ke layar ini dan melihatnya serta mengontrolnya dan memantau akhir halaman untuk menekan stopkontak ketika sudah sampai di akhir halaman dan diiringi rasa takut dan akan putusnya aliran listrik dan rusaknya alat.

Demikianlah pekerjaannya sibuk untuk berfikir dan memantau alat ini. Imam atau makmum disibukkan oleh pekerjaan yang bukan merupakan syarat dan rukun dan tidak diperintahkan untuk diciptakan.

Orang yang shalat dengan cara seperti ini malah akan membuat dirinya lalai dalam shalatnya karena pikirannya disibukkan dengan alat tersebut dan tentunya akan sulit untuk memusatkan pikiran, hatinya dan panca inderanya untuk dapat menciptakan kekhusyukan dan keindahan bermunajat. Ini artinya meremehkan hak-hak shalat.

Jika rasa lapar bisa menyibukkan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam shalatnya sehingga beliau mengganti rasa lapar itu dengan yang lainnya, maka bagaimana keadaannya dengan orang selain Nabi shallallahu `alihi wa sallam, dan bagaimana dengan alat ini, layar monitornya, stopkontaknya, gelangnya, perangkat-perangkatnya, dan aksesoris lainnya.

Terdapat riwayat sahih dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam tentang larangan menyibukkan diri dengan apa yang lebih ringan dari itu, misalnya larangan beliau kepada orang shalat agar tidak menyapu tempat sujudnya. Dalam kitab Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

في الرجل يسوي التراب حيث يسجد، قال: إن كنت فاعلاً فواحدة

“Mengenai seorang lelaki yang meratakan debu di tempat sujudnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila engkau harus melakukannya maka cukup sekali saja”.

Dan di dalam kedua buku hadits sahih tersebut juga terdapat larangan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menarik atau mengumpulkan pakaian dan rambutnya ketika shalat.

Kesibukan terhadap hal-hal ini hanyalah kesibukan yang dilakukan oleh anggota badan, lalu bagaimana dengan alat ini yang bermacam-macam pekerjaan dan kesibukkannya baik secara indrawi maupun maknawi.

Dan alat ini juga menghilangkan banyak hal-hal yang hukumnya sunah, di antaranya memalingkan pandangan orang shalat dari tempat sujudnya, menghilangkan ketenangan panca indranya, menghilangkan pikiran dan kosentrasi hatinya, dan juga dalam hal ini membuat-buat perkara baru dalam agama, sedangkan teks agama melarang hal tersebut. Dari Anas bin Malik radhiyallahu `anhu, ia berkata:

دخل النبي صلى الله عليه وسلم فإذا حبل ممدود بين الساريتين، فقال: ما هذا الحبل؟ قالوا: هذا حبل لزينب فإذا فترت تعلقت، فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا، حلوه، ليصل أحدكم نشاطه فإذا فتر فليقعد

“Pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid. Tiba-tiba beliau melihat tali yang terbentang di antara dua tiang, maka beliau bertanya, “Tali apakah ini?” Para sahabat menjawab, “Itu tali milik Zainab. Jika dia merasa lelah dalam shalat maka dia berpegangan pada tali itu”.

Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lepaskanlah. Hendaknya seseorang menunaikan shalat saat ia kuat, jika telah lelah maka hendaklah ia shalat dengan duduk”. (Muttafaqun `Alaih).

Jadi perkataan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, “Maka hendaklah duduk” adalah perintah untuk meninggalkan ibadah yang hukumnya sunah apabila dia lelah, sehingga tidak boleh membuat-buat sarana-sarana baru.

Demikian juga dikatakan di sini, “Hendaklah seorang Muslim melakukan shalat dengan membaca Al-Quran yang mudah baginya sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta`ala dengan firman-Nya,

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Quran” (QS. Al Muzzammil: 20).

Juga, kaidah ibadah yang baku adalah penekanan pada apa yang diamalkan oleh umat Islam dahulu, dan mencegah diri secara total dari menambah sesuatu dari perkara agama.

Di antaranya tidak keluar dari bentuk keadaan shalat yang diwarisi oleh umat Islam dan pengamalannya telah dilakukan secara turun temurun yang diperkuat dengan dalil-dalil syariat.

Kecenderungan atau sikap tidak mau mengikuti amal dan manhaj mereka bisa menyebabkan jatuh kepada ibadah yang tidak disyariatkan. Selain peringatan-peringatan lainnya, termasuk banyaknya jamaah yang disibukkan di belakang imam dengan layar yang bergerak di depan mereka.

Di antaranya lagi, mengakibatkan berpalingnya aktifitas menghafal al-Quran, dan menghambat motivasi untuk menggali dan mengembangkan potensi besar umat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam.

Di antaranya lagi, menjadikan shalat sebagai sarana kreasi orang-orang yang menginginkan target-target duniawi dan materi.

Faktor lain yang membuat alat ini tidak boleh dipakai ketika sedang shalat adalah bahwa alat ini akan menjadi perantara bagi orang-orang yang mempunyai maksud dan kepentingan dengan menyerahkan pengelolaan mihrab kepada orang-orang tertentu dengan mengenyampingkan kriteria yang selama ini dikenal seperti sisi kealimannya dalam masalah fiqih dan kewaraannya.

Faktor lain, alat ini akan membuka pintu untuk mengutak-atik rukun besar Islam dan ritual nyata yang berkembang di seluruh penjuru negeri umat Islam, Alhamdulillah, dan mengajak untuk mengubah dasar-dasar dan ritual agama kepada tindakan-tindakan lain serta hal-hal baru, dan dapat mengikis pengaruh yang besar pada hati umat Islam yang diperoleh lewat perbaikan, dan ketergantungannya kepada Allah dan melarang pelakunya dari berbuat dosa dan penyelewengan.

Dan tidaklah boleh, karena hendak membolehkan mihrab ini lalu beralasan kepada hukum bolehnya membaca mushaf, disebabkan banyaknya perbedaan antara keduanya. Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa menfatwakan: Hukum agama melarang alat ini dan mencegah penggunaannya saat shalat.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 16275

Lainnya

Kirim Pertanyaan