Hukum Shalat Musbil (Orang Yang Melabuhkan Pakaiannya) Terutama Jika Ia Imam |
Pertanyaan
Apa hukumnya shalat orang yang melabuhkan pakaiannya terutama jika ia imam, shalatnya makruh atau batal? Jika Anda berpendapat makruh, apa pendapat Anda tentang – semoga Allah memberkati, memelihara dan menolong Anda – sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada akhir hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud pada masalah itu.
An-Nawawi berkata di dalam kitab Riyadus Shalihin, sanadnya sahih, sesuai syarat Muslim, “Dan sesungguhnya Allah Jalla Zikruh tidak menerima shalat lelaki yang melabuhkan pakaiannya (hingga di bawah mata kaki)”.
Apakah itu menunjukkan batalnya shalat sebagaimana dikatakan oleh salah seorang pelajar kami. Apakah hal ini benar? Kami ingin penjelasan Anda karena butuhnya kami kepada jawaban atas pertanyaan ini, karena masalah ini adalah yang umum di tempat kami di Mesir.
Saya kebingungan yang tidak mengetahui apa-apa. Saya berharap Anda dapat menjelaskan secara rinci tentang masalah ini sehingga saya tidak lagi punya syubhat (kecurigaan dan kebimbangan) dalam hal ini, dan semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawaban
Melabuhkan pakaian hingga ke bawah kedua mata kaki diharamkan, baik jubah, celana, maupun yang lainnya. Terdapat riwayat tentang ancaman keras terhadap orang yang melabuhkan pakaiannya di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apa yang di bawah mata kaki, maka itu tempatnya di neraka.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Imam Ahmad dan selain mereka berdua)
Dan sabda beliau shallallahu `alaihi wa sallam,
“Ada tiga golongan yang tidak akan ditegur Allah, tidak dilihat, tidak diampuni dosanya dan mereka mendapat azab yang pedih, yaitu orang yang musbil (melabuhkan pakaiannya sehingga menutupi mata kaki), orang yang mengungkit (menyebut-nyebut) pemberiannya, dan orang yang menjual barangannya dengan sumpah palsu”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad dan an-Nasa’i).
Dan barangsiapa yang shalat dengan melabuhkan pakaian hingga ke bawah mata kakinya maka shalatnya sendiri sah jika memenuhi syarat-syaratnya, rukun-rukkunnya, dan kewajiban-kewajibannya, tetapi dia berdosa dan layak untuk mendapat azab karena dia melabuhkan pakaiannya.
Adapun hadits yang disebutkan dalam pertanyaan, hadits itu diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu `anhu dengan redaksi dia berkata,
“Ketika ada seorang lelaki yang shalat sambil melabuhkan kainnya (melebihi mata kaki), Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda kepadanya, “Pergi dan berwudhulah”. Lelaki itu lantas pergi berwudhu kemudian kembali lagi, namun beliau tetap bersabda, “Pergi dan berwudhulah”.
Lalu ada seorang lelaki bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ada apa denganmu, Engkau suruh dia berwudhu kemudian Engkau diamkan?” Beliau menjawab, “Lelaki itu shalat dengan melabuhkan kain sarungnya, padahal Allah tidak menerima shalat seseorang yang melabuhkan kain sarungnya”.
Hadits ini tidak sahih, dan Imam an-Nawawi rahimahullah meragukannya dalam kitab Tashihnya, bahkan hadits itu lemah, karena dalam sanadnya ada yang tidak diketahui dan mudallis sanad (menyembunyikan perawi).
Jika hadits itu dianggap hadits sahih, maka perintah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kepada pria yang musbil ini untuk mengulangi wudhunya, adalah sebagai teguran kepadanya agar dia mengambil perhatian karena dia telah melakukan maksiat isbal, dengan harapan dia sadar akan bahaya perbuatannya dan buruknya apa yang dia perbuat, sehingga ia mau melepas dan mengakhiri perbuatan dosanya itu, maka di saat itu sempurnalah kesuciannya secara lahir dan batin.
Isbal mengisyaratkan keangkuhan dan kesombongan, dan ia mengantarkan kepada keangkuhan dan kesombongan, padahal kesucian lahir mempengaruhi kesucian batin. Berwudhu yang diperintahkan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi penyebab diampuni dosa yang telah dia lakukan, dosa yang akan mengakibatkan datangnya murka Allah dan tidak diterima salatnya.
Sesungguhnya wudhu menghapus kesalahan-kesalahan, menghapus dosa-dosa, memadamkan maksiat dan menghilangkan penyebab-penyebabnya sebagaimana wudhu juga memadamkan kemarahan. Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah riwayat Ali bin Abi Thalib dari Abu Bakar radhiyallahu `anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang Muslim melakukan dosa, lalu ia berwudu dan shalat dua rakaat kemudian meminta ampun kepada Allah Ta’ala atas dosa yang ia lakukan, melainkan ia akan diampuni”. (Hadits dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad dan para penulis Kitab Sunan: Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dsb dengan sanad yang sahih).
Adapun sabda Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pada hadits yang lalu:
“Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki”.
Hadits ini adalah ancaman untuk mencegah dan melarang yang berlaku sesuai dengan lahirnya. Dan shalat cukup baginya sekedar untuk menggugurkan kewajiban shalat jika ia lakukan dalam keadaan isbal, tetapi tidak mesti shalatnya jadi batal karena melabuhkan pakaian.
Jadi shalat itu sendiri hukumnya sah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, walaupun shalatnya tidak diterima di sisi Allah. Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah riwayat Abu Hurairah radhiyallahu `anhu bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang baik, dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik”.
(Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya dan Imam Ahmad di dalam Musnadnya).
Jadi apabila isbal adalah tanda kesombongan dan keangkuhan dan mengajak kepada keduanya dan hal itu menafikan kekhusyukkan dan ketundukkan kepada Allah, maka itu adalah sesuatu yang berbahaya bagi musbil jika amal shalatnya tidak diterima oleh Allah.
Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dari hambanya yang khusyuk dan tawaduk. Dan setiap kali hati manusia bertambah menghadap kepada Allah, khusyuk, tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya serta menjauhi maksiat-maksiat, setiap kali itu juga bertambah besar peluang amalnya akan diterima di sisi-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
“(Berkata Habil) :”Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Maa-idah: 27)
Maka hendaklah setiap orang Muslim menjauhkan diri dari dosa dan pelanggaran besar ini yang bisa menjadi penghalang antara dia dan diterimanya shalatnya, dan hendaklah ia meninggalkannya dan bertaubat daripadanya dengan taubat nasuha, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada-Nya, dan menjauhkan seluruh yang akan mendatangkan murka-Nya supaya ia mendapatkan keberuntungan dengan kerelaan-Nya dan surga-Nya dan terbebas dari azab dan siksaan-Nya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam