Hikmah Islam Mengharamkan Perbudakan |
Pertanyaan
Orang-orang berkata, “Mengapa Islam tidak mengharamkan perbudakan?” Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Jawaban
Allah adalah Dzat yang memiliki kesempurnaan ilmu, kebijaksanaan, kelembutan, dan kasih sayang. Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui persoalan hamba-Nya, Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya, serta Maha Bijaksana atas ciptaan dan syariat-Nya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan kepada umat manusia, hal-hal yang mengandung kemaslahatan bagi mereka di dunia dan akhirat.
Allah juga mensyariatkan hal-hal yang menjamin kebahagiaan yang hakiki, kebebasan, dan persamaan, namun tetap dalam kerangka keadilan, petunjuk yang komprehensif, dan dalam batas-batas yang tidak menyebabkan terabaikannya hak-hak Allah dan hamba-hamba-Nya. Bersamaan dengan syariat ini, Allah mengutus rasul-rasul-Nya untuk membawa kabar gembira dan memberikan peringatan.
Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti jalan-Nya dan mengikuti petunjuk rasul-rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan, kemenangan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, barangsiapa tidak mau mengikuti jalan yang lurus, maka dia akan tertimpa hal-hal yang tidak disukainya, seperti dibunuh atau dijadikan budak. Tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan, mewujudkan keamanan dan perdamaian, serta melindungi nyawa, harga diri, dan harta.
Karena itulah jihad disyariatkan yang bertujuan untuk menghentikan tangan-tangan jahil, memberantas para penjahat, dan membersihkan bumi dari orang-orang zalim. Jika salah seorang di antara mereka ada yang ditawan kaum Muslimin, maka imam (pemimpin kaum Muslimin) boleh memilih antara membunuhnya, jika dia sangat jahat dan tidak menunjukkan tanda-tanda kebaikan, atau mengampuninya atau menerima fidyah darinya, jika dia menunjukkan itikad baik dan mudah diarahkan pada kebaikan.
Atau menawannya, jika keberadaannya di antara kaum Muslimin dapat memperbaiki jiwanya, meluruskan kesalahannya, serta akan menambah pengetahuannya tentang pintu-pintu hidayah dan petunjuk, meyakininya, dan tunduk kepadanya; lantaran hal-hal yang dilihatnya, seperti keadilan kaum Muslimin, baiknya perlakuan mereka, serta bagusnya interaksi mereka terhadapnya.
Serta lantaran teks-teks syariat yang didengarnya, yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam dan etika-etikanya, sehingga mata hatinya terbuka untuk Islam, dan Allah menjadikannya sebagai orang yang mencintai keimanan, membenci kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Dengan demikian, dia dapat memulai kehidupan baru dengan kaum Muslimin, yang akhirnya akan menjadi jalan baginya untuk mendapatkan kebebasan dengan jalan “mukatabah” (menebus diri). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.” (QS. An Nuur: 33)
Atau dengan jalan dimerdekakan untuk membayar kifarat sumpah, zihar, nazar, dan sebagainya. Atau dengan jalan dimerdekakan untuk mendapatkan rida Allah, mengharapkan pahala dari-Nya pada hari kiamat, atau dimerdekakan dengan jalan yang lain.
Dari sini diketahui bahwa budak hanya dapat diambil dengan cara menawan musuh dalam jihad melawan kaum kafir yang bertujuan untuk memperbaiki orang yang ditawan dengan cara mengasingkan dia dari lingkungan jahat. Lalu mereka diberi kesempatan untuk hidup di lingkungan kaum Muslimin, yang akan menunjukkan mereka pada kebaikan, menyelamatkan mereka dari cengkeraman kejahatan, serta menyucikan mereka dari noda kekafiran dan kesesatan.
Kemudian menjadikan mereka sebagai orang yang berhak menikmati kehidupan yang bebas, di mana dia dapat menikmati kedamaian dan ketentraman. Jadi, perbudakan dalam hukum Islam ibarat mesin cuci atau kamar mandi, tempat di mana para budak dapat masuk melalui salah satu pintunya untuk membasuh kotoran yang menempel pada tubuh mereka, lalu mereka keluar dari pintu yang lain dalam keadaan suci, bersih, dan bebas dari penyakit.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala Alihi wa Shahbihi wa Sallam.