Hadits Tentang “Di Mana Allah?”

2 menit baca
Hadits Tentang “Di Mana Allah?”
Hadits Tentang “Di Mana Allah?”

Pertanyaan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita, “Di mana Allah?” ” lalu budak itu menjawab, “Di langit.”
Apakah hadis ini sahih atau dha`if? lalu apa hukum bertanya tentang tempat Allah? Saya mohon mendapat keyakinan dengan dalil al-Quran atau hadis tentang masalah ini!

Jawaban

Hadis mengenai pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan,

أين الله؟ فقالت: في السماء. فقال: من أنا؟ قالت: أنت رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة

“”Di manakah Allah?” Budak perempuan menjawab: “Di atas Langit” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku?” Dia menjawab: “Engkau adalah Rasullullah shallallahu `alaihi wa salam.” Beliau bersabda: “Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang Mukminah (perempuan beriman)”.”

Ddalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i dari hadis Mu`awiyah bin al-Hakam radhiyallahu `anhu.

Hadits ini atau dalil-dalil lain yang sama maknanya baik dari al-Quran maupun dari as-Sunnah menunjukkan penetapan sifat luhur bagi Allah Ta`ala, dan bahwa Allah Subhanahu di langit, sebagaimana difirmankan oleh (Allah) Ta’ala,

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.” (QS. Al-Mulk: 16)

Ayat al-Quran. Makna”di langit” menunjukkan perihal luhur, dan bahwasanya Allah di atas segala sesuatu, dan di atas `Arsy yang merupakan atap dari semua makhluk, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu ,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thahaa: 5)

Dan (Allah) Subhanahu berfirman,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia bersemayam di atas ’Arsy.” (QS. Al-A’raf: 54)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberikan jawaban seperti itu adalah untuk menghukumi keimanan budak wanita tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa keimanan dan persaksian atas keimanan adalah berdasarkan hal yang tampak.

Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa budak tersebut telah beriman secara lahir, yang juga berlaku padanya hukum-hukum secara lahir juga, yaitu selama orang yang secara lahir telah beriman itu tidak melakukan perbuatan yang mengeluarkan dirinya dari keimanannya.

Karena itulah, maka Nabi menghukumi orang-orang munafik berdasar sikap lahirnya, sehingga beliau menghukumi mereka seperti menghukumi semua kaum Muslimin.

Jika jenazah salah seorang dari kaum Munafik datang, beliau mensalatkannya, dan beliau tidak melarang mensalatkan kecuali jenazah orang yang memang kemunafikannya benar-benar diketahui.

Karena kalau tidak begitu (menghukumi berdasar yang lahir), maka dada setiap orang harus dilubangi dan dicari tahu rahasia-rahasianya dan manusia tidak bisa melakukan itu.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 18362

Lainnya

Kirim Pertanyaan