Bantahan terhadap Ahli Bid`ah yang Menyatakan bahwa Doa Orang Mati Bermanfaat dan Harakat Al-Qur`an dan Tanda Titiknya Termasuk Bid`ah

5 menit baca
Bantahan terhadap Ahli Bid`ah yang Menyatakan bahwa Doa Orang Mati Bermanfaat dan Harakat Al-Qur`an dan Tanda Titiknya Termasuk Bid`ah
Bantahan terhadap Ahli Bid`ah yang Menyatakan bahwa Doa Orang Mati Bermanfaat dan Harakat Al-Qur`an dan Tanda Titiknya Termasuk Bid`ah

Pertanyaan

Sebagian ahli bid`ah yang berdoa kepada orang-orang mati berkata: "Bagaimana kalian mengatakan: "Orang mati tidak memberi manfaat", padahal Nabi Musa `Alaihis Salam telah memberi manfaat kepada kita karena ia merupakan penyebab keringanan salat dari lima puluh menjadi lima".

Sebagian mereka berkata: "Mengapa kalian mengatakan: "Setiap bid`ah itu sesat", lantas bagaimana pendapat kalian mengenai pemberian harakat dan titik pada Al-Qur`an, padahal semua itu terjadi sepeninggal Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam?" Bagaimana kami menjawab mereka?

Jawaban

Pertama: Pada dasarnya orang mati tidak mendengar panggilan orang yang memanggil mereka, dan tidak pula menjawab doa orang yang berdoa kepada mereka, serta tidak berbicara dengan orang-orang yang hidup meskipun mereka adalah para nabi, bahkan amalan mereka terputus sejak kematian mereka, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لاَ يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلاَ يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir : 13-14)

وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (QS. Fathir : 22)

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لاَ يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)-nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf : 5-6)

Dan sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam:

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلاَّ من ثلاث: صدقة جارية، وولد صالح يدعو له وعلم ينتفع به

“Jika anak Adam meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal; sedekah jariyah, anak saleh yang mendoakannya, dan ilmu yang bermanfaat”

Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Beberapa perkara yang telah ditetapkan berdasarkan dalil sahih diperkecualikan dari hukum asal ini, seperti mendengarnya Ahli Qalib dari kalangan orang-orang kafir yang mendengar sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam seusai perang Badar.

Juga seperti shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para nabi pada malam Isra’ dan perbincangan beliau bersama para nabi `Alaihimu ash Shalatu wa as Salam di langit tatkala beliau dinaikkan.

Juga seperti nasehat Musa kepada Nabi kita `Alaihima ash Shalatu wa as Salam supaya beliau meminta kepada Allah keringanan jumlah shalat yang telah diwajibkan kepada beliau dan umat beliau.

Atas nasehat Nabi Musa tersebut, Nabi kita Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam meminta keringanan kepada Allah hingga menjadi shalat lima waktu dalam sehari semalam.

Ini merupakan bagian dari mukjizat dan hal-hal di luar kebiasaan, maka hal tersebut terbatas pada apa yang ada sumbernya, dan tidak diqiyaskan kepada perkara lain yang masuk dalam keumuman hukum asal, sebab keberadaannya pada hukum asal lebih kuat daripada mengeluarkannya dengan qiyas terhadap hal-hal di luar kebiasaan.

Sebagaimana diketahui bahwa mengqiyaskan perkara-perkara yang dikecualikan terhadap hukum-hukum asal tidak diperbolehkan, terlebih lagi jika tidak diketahui illat-nya. Illat (sebab) di dalam persoalan ini tidak diketahui, karena ia termasuk perkara gaib yang tidak diketahui melainkan secara tauqifi dari syariat.

Sepanjang pengetahuan kami, dalam permasalahan tersebut tidak ada tauqif (penetapan) dari syariat. Oleh karena itu berpegang pada hukum asal adalah wajib.

Kedua: Umat Islam diperintahkan menjaga Al-Qur`an, secara tulisan dan bacaannya, serta menjaganya dengan membacanya sesuai tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam kepada mereka.

Bahasa para sahabat Radhiyallahu `Anhum adalah bahasa Arab yang baik, karena orang-orang asing yang hidup di tengah mereka jumlahnya sangat sedikit.

Perhatian mereka sangat besar terhadap tata cara baca Al-Quran sebagaimana ia diturunkan. Keadaan seperti itu berlanjut hingga masa Khulafaur Rasyidin.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam membaca Al-Qur`an. Mereka juga tidak merasakan kesulitan membacanya walau tulisannya tanpa tanda titik dan harakat.

Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, jumlah kaum Muslimin yang berasal dari bangsa bukan Arab bertambah banyak. Mereka bercampur dengan kaum Muslimin dari Arab.

Maka mulailah ada kekhawatiran akan terjadinya kesalahan bacaan. Tulisan Al-Quran yang tanpa tanda titik dan harakat dikhawatirkan akan menyulitkan mereka dalam membacanya dengan baik dan benar.

Maka Abdul Malik bin Marwan mengeluarkan perintah untuk memberi tanda titik dan harakat pada Al-Quran. Perintah itu dilaksanakan oleh Hasan Basri dan Yahya bin Ya`mur Rahimahumallah.

Mereka berdua adalah tabi`in yang paling bertakwa dan mengerti serta paling dipercaya untuk menjaga Al-Qur`an, dan melindunginya dari perubahan, serta untuk mempermudah bacaan, pengajaran dan mempelajarinya, sebagaimana diterima dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam.

Dengan penjabaran ini dapat diketahui bahwa pembubuhan tanda titik dan harakat pada Al-Quran meskipun tidak dijumpai pada masa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, tapi ia masuk ke dalam keumuman perintah untuk menjaga, mengajarkan, dan mempelajari Al-Quran sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam kepada umat beliau, agar dakwah Islam sempurna, syari`atnya menyebar, dan terus berkelanjutan sampai tiba hari kiamat.

Berdasarkan hal ini, maka pembubuhan tanda titik dan harakat pada Al-Quran tidak termasuk bid`ah, karena bid`ah adalah: perkara baru yang tidak memiliki dalil khusus atau umum yang menjadi landasan baginya dan bagi lainnya.

Sebagian orang yang biasa berbicara tentang Sunnah dan Bid`ah menamakan hal seperti ini: “Mashlahah Mursalah”, bukan bid`ah. Mereka mengatakan : bid`ah dari segi bahasa, karena perbuatan tersebut tercipta dari sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya dan bukan bid`ah dari segi syari`at, sebab ia masuk dalam keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban menjaga Al-Qur`an serta membaca, mempelajari, dan mengajarkannya secara benar.

Contoh lain adalah ucapan Umar Radhiyallahu `Anhu, ketika mengumpulkan kaum muslimin untuk berjamaah shalat tarawih: ( bid`ah yang paling baik adalah ini ) . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanda titik dan harakat itu masuk ke dalam keumuman dalil yang menunjukkan atas kewajiban menjaga Al-Qur`an sebagaimana diturunkan.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor (2213) | Link

Lainnya

Kirim Pertanyaan