Menikah Dengan Lelaki Yang Tidak Menunaikan Hak-hak Istrinya |
Pertanyaan
Saya seorang muslimah dari negara Pakistan yang berumur dua puluh tujuh tahun. Saya mendapat gelar sarjana muda dalam ilmu kedokteran dan bedah. Saya sudah menikah sejak dua tahun lalu dan belum dikaruniai anak sampai sekarang. Saya tinggal bersama ibu saya di Kerajaan Arab Saudi terus menerus sejak 1394 H, kecuali pada tahun-tahun kuliah di perguruan tinggi yang saya habiskan di luar Kerajaan Arab Saudi.
Perlu saya sampaikan bahwa ibu saya adalah janda cerai. Kini ibu tinggal bersama ayahnya. Saat menjalani kuliah di perguruan tinggi, saya berkenalan dengan teman lelaki lalu menikah dengannya. Dia juga alumnus fakultas kedokteran dari perguruan tinggi yang sama dengan saya di Pakistan. Pernikahan kami berlangsung saat saya menjalani praktek khusus yang dilakukan oleh dokter baru, sesuai dengan program praktik pelayanan dokter gratis di salah satu rumah sakit ternama.
Akan tetapi, suami saya tidak mampu memberikan nafkah dan tempat tinggal yang layak untuk saya, karena tidak mempunyai rumah sendiri atau sumber penghasilan tetap dan rutin. Kondisi ini mendorong saya untuk pulang ke Kerajaan Arab Saudi dan tinggal bersama ibu saya. Itu saya lakukan berdasarkan persetujuan suami.
Awalnya rencana dan impian kami adalah bisa mencari pekerjaan untuk suami saya di Kerajaan Arab Saudi setelah selesai dari masa pelatihan khusus agar memungkinkan kami tinggal bersama dalam satu rumah. Namun, kenyataannya tidak berjalan sesuai rencana dan usaha kami gagal.
Suami saya tidak dapat tinggal di Kerajaan Arab Saudi untuk bekerja. Meskipun demikian, suami saya tidak mencurahkan usaha keras untuk mendapat pekerjaan dan jabatan di Pakistan sebagai penopang hidup. Justru sebaliknya, pekerjaan yang sudah didapatkan malah ditinggalkan dalam waktu singkat demi mencari pekerjaan lain.
Hingga akhirnya, kira-kira setahun yang lalu, dia memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan lagi. Dia lebih memilih tinggal di rumah keluarganya dan memfokuskan energinya untuk meneruskan studi di pascasarjana. Dia telah mengikuti tiga kali ujian yang ditetapkan namun tidak lulus.
Intinya, dia tidak mendapat pekerjaan untuk memenuhi biaya hidup dan tidak lulus dalam ujian pendaftaran studi di program pascasarjana. Di samping itu, dia juga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya kepada saya sebagai istri.
Sejak pernikahan kami sampai saat ini, suami saya telah meminjam uang dari saya sejumlah 80.000 rupee Pakistan, dengan harapan dia akan mengembalikan pinjamannya kalau sudah mempunyai uang yang cukup. Baru-baru ini saya menerima surat darinya bahwa dia tidak mampu sama sekali melunasi utang, sebagaimana dia janjikan kepada saya dulu.
Sebenarnya, keluarga suami saya pada mulanya tidak setuju dengan pernikahan kami. Di awal-awal masa pernikahan, terjadi pertengkaran antara suami saya dan seorang saudara perempuan kandungnya. Saudara perempuan suami saya itu sampai mengeluarkan senjata tajam dan menusuk perut suami saya hingga hampir tewas.
Akan tetapi suami saya mengatakan bahwa pertengkaran itu tidak ada hubungannya dengan masalah pernikahan kami, namun berkenaan dengan masalah-masalah khusus di keluarganya. Setelah itu, ibu suami saya memutuskan untuk mengusirnya dari rumah, tetapi pada akhirnya ikatan keluarga itu kembali membaik. Hanya saja, mereka tidak setuju untuk menerima saya sebagai menantu hingga saat ini.
Keadaan ekonomi suami saya memang tidak memungkinkan untuk menafkahi saya selaku istri. Dia tidak peka dan perhatian dalam memenuhi kebutuhan biologis, materiil, dan perasaan saya. Di samping itu, dia juga sangat bergantung kepada saya dalam beberapa hal terkait finansial. Pada akhirnya waktu juga yang membuktikan bahwa suami saya adalah lelaki tidak bertanggung jawab, bukan seperti yang seharusnya dia lakukan.
Pada dasarnya, keluarga suami saya dikenal kejam, keras, dan reaksioner. Di samping itu, mereka memang tidak setuju atas pernikahan saya dengan anak mereka. Ini berarti bahwa jika saya tinggal dan hidup bersama keluarga tersebut, saya akan tertimpa kesusahan, dan keselamatan saya juga terancam oleh bahaya yang fatal.
Apalagi tidak ada jaminan terhindar dari kejahatan mereka, jika saya pindah dan tinggal bersama di rumah mereka, karena suami saya tidak memiliki rumah sendiri yang terpisah. Jujur saya katakan, akhir-akhir ini muncul dalam diri saya rasa kebencian yang besar terhadap suami saya karena sebab-sebab di atas. Itulah yang mendorong saya untuk selalu meminta cerai dari suami saya, hanya saja dia tidak menerima permintaan saya itu.
Syaikh yang terhormat, masalah saya tersimpulkan dalam poin-poin berikut:
1. Suami saya tidak mampu mencukupi nafkah untuk saya sejak akad nikah dan berlangsung selama dua tahun penuh.
2. Tidak ada harapan bahwa suami saya akan mendapatkan pekerjaan di masa yang akan datang dan menjanjikan kehidupan yang baik bagi saya.
3. Keselamatan diri saya terancam bahaya jika harus tinggal serumah bersama keluarga suami saya.
4. Kondisi keluarga saya mengharuskan saya untuk tinggal bersama ibu saya yang diceraikan sejak 1408 H, yang juga memiliki dua putri lain lagi dan tidak mendapat bantuan materiil sedikitpun dari ayah saya.
5. Saya tidak memiliki sumber penghasilan yang saya jadikan pegangan, karena belum memperoleh pekerjaan.
6. Usia saya berjalan cepat. Dan, seperti wanita-wanita lain, saya juga menginginkan untuk membentuk keluarga, memiliki anak-anak dan suami yang akan membantu saya menghadapi tantangan zaman.
7. Saya membenci suami sampai pada titik dimana saya tidak mau lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban saya kepadanya sebagai suami.
8. Apakah saya boleh menuntut cerai terhadap suami saya?
9. Bagaimana sikap yang paling tepat menurut pandangan syariat, dan apa langkah yang harus diambil oleh suami terhadap permintaan cerai saya? Wassalamu`alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Jawaban
Jika kondisinya seperti yang telah disebutkan, maka Anda berhak meminta cerai dan tidak berdosa jika melakukannya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.