Wakil Ahli Waris Tidak Boleh Bertindak Dalam Bagian Harta Milik Ahli Waris Yang Tidak Memberinya Kuasa |
Pertanyaan
Ayah saya meninggal dunia dan meninggalkan tujuh orang anak laki-laki, lima anak perempuan, dan dua orang istri. Ia berwasiat dengan sepertiga hartanya dan menunjuk kakak tertua kami sebagai penanggung jawab atas harta wasiat itu. Kakak tertua pun menjadi wakil (pemegang hak kuasa) dari seluruh ahli waris, kecuali dua orang yang salah satunya mewakilkan kepada yang lain untuk pengurusan hak waris, pembayaran hutang, dan pengguguran hak.
a. Apakah kakak tertua boleh mengelola harta warisan, seperti pengguguran hak dan jual beli, tanpa kehadiran dua orang saudaranya yang tidak memberinya hak kuasa (wakalah) karena posisinya sebagai wakil dari mayoritas ahli waris? Jika salah satu ahli waris mengungkapkan keberatannya kepada pelaksana wasiat karena sepertiga harta merupakan jumlah yang besar dan merugikan ahli waris dan memintanya agar wasiat dilaksanakan dalam jumlah seperlima atau seperenam harta, maka apakah keberatan mereka ini dapat diterima?
b. Jika kakak tertua itu menjadi wakil bagi anak-anak kecil yang bukan adik kandungnya sementara mereka memiliki kakak kandung yang telah dewasa tetapi mereka memberikan hak kuasa (wakalah) kepada kakak tertua dan kakak kandung mereka tidak setuju dengan perwakilan itu karena merasa ia lebih dekat dengan mereka, maka apakah keberatannya bisa diterima?
c. Almarhum memiliki sebuah sawah dan sebagian ahli waris ingin menginvestasikannya tetapi sebagian dari mereka atau, tepatnya, salah satu dari mereka ingin menjualnya. Apa yang harus mereka lakukan?
Jawaban
Pertama, Kakak tertua tidak boleh melakukan apapun dalam bagian kedua saudaranya yang tidak memberinya hak kuasa (wakalah) jika keduanya telah dapat berpikir dengan dewasa (rasyid) tanpa pemberian kuasa meskipun ia merupakan wakil dari mayoritas ahli waris. Tidak seorang pun dari ahli waris boleh berkeberatan bila wakil mereka melaksanakan wasiat sepertiga harta sebagaimana yang diwasiatkan oleh almarhum hanya karena para ahli waris miskin dan anggapan bahwa sepertiga harta adalah banyak.
Hal itu karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan berwasiat dengan sepertiga harta. Wasiat yang sesuai dengan syariat bersifat wajib dan mengikat dengan meninggalnya pewasiat. Mereka hanya boleh berkeberatan jika sang wakil menyalurkannya untuk hal-hal yang tidak sesuai syariat yang telah ditentukan oleh pewasiat atau untuk hal-hal non kebaikan secara umum jika pewasiat tidak menentukan bentuk penyaluran. Kerabat pewasiat yang miskin adalah orang yang paling tepat untuk diberi harta wasiat itu guna menutupi kebutuhan mereka setelah memberikannya kepada pihak, jika ada, yang ditentukan oleh pewasiat.
Kedua, Jika hakim (pengadilan) yang memberikan hak kuasa (wakalah) kepada kakak tertua –yang merupakan saudara seayah– atas saudara-saudaranya yang masih kecil setelah mengetahui ada saudara sekandung mereka demi kemaslahatan yang dipandang oleh hakim, maka saudara sekandung tidak boleh berkeberatan terhadap wakil.
Jika hakim memberikan hak wakalah kepada kakak tertua tanpa mengetahui adanya saudara sekandung, maka saudara kandung tersebut dapat mengajukan keberatan kepada hakim dan menjelaskan kenyataan sebenarnya sehingga hakim dapat mengkaji kembali dan memberikan keputusan yang berisi kemaslahatan bagi saudaranya yang masih kecil tersebut. Jika saudara-saudaranya yang masih kecil itulah yang memberikan hak perwakilan kepada kakak tertua, maka perwakilan itu tidak sah dan penentuan hak perwakilan diserahkan kepada hakim jika ayah mereka belum menentukan siapa yang akan menjadi pemegang hak kuasa itu.
Ketiga, Jika almarhum memiliki sawah dan ahli waris berselisih apakah akan diinvestasikan atau dijual, maka sebaiknya mereka berbagi jika memungkinkan dan setiap ahli waris dapat melakukan apapun atas bagiannya sesuai kepentingannya. Penggunaan bagian saudara-saudara yang masih kecil diserahkan kepada pemegang kuasanya yang sah sesuai dengan kepentingan mereka. Jika sawah tersebut tidak mungkin dibagikan kepada ahli waris, maka mereka dapat menjualnya dan membagikan hasilnya kepada para ahli waris. Jika mereka berselisih, maka mereka dapat menyelesaikannya di pengadilan.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.