Harta Yang Dimiliki Dan Diperoleh Seorang Anak Dari Usahanya Sendiri Adalah Khusus Untuknya |
Pertanyaan
Saya memiliki lima orang anak lelaki; empat di antaranya saudara kandung, dan satu lagi dari ibu yang berbeda. Pada tahun 1380 H, anak yang berbeda ibu tersebut meminta untuk hidup mandiri dengan penghasilannya dan saya mengizinkannya. Sedangkan empat anak yang lain kondisinya sebagai berikut: Salah satu dari mereka hanya mendapat penghasilan dari lembaga pendidikan dan belum mencukupi kebutuhannya sendiri.
Yang kedua sudah mulai bekerja sejak kurang lebih tiga tahun, dan dia memiliki penghasilan yang cukup untuk dirinya sendiri. Yang ketiga sudah bekerja dan berpenghasilan sejak tujuh tahun lalu, kadang dia punya uang dan kerapkali juga berutang. Yang keempat–anak sulung saya–membantu saya sejak tahun 1380 H. Saya telah membeli sebuah rumah di Riyadh, yang harga pembeliannya dilunasi dari pendapatan saya dan anak sulung saya.
Dia juga telah membeli sebidang tanah di Riyadh, setengahnya dia bayar dari hasil usahanya menjual tanah, dan setengah sisanya dia lunasi dari pendapatan kami. Dia juga membeli sebuah pabrik dengan meminjam uang dari salah seorang temannya, kemudian pabrik tersebut dijualnya kembali dan dia mendapat untung.
Yang mulia, saya berharap Anda berkenan memberikan penjelasan hukum syar’i terkait hal berikut:
1. Apakah semua anak-anak saya punya bagian terhadap rumah tersebut atau hanya anak sulung saya saja karena dia yang membantu saya melunasi pembayarannya?
2. Apakah uang dan harta yang mereka miliki memang khusus bagi mereka atau saya boleh mengambil sebagian, atau bahkan semuanya menjadi milik saya sehingga saya boleh menuntut mereka?
Berdasarkan pengamatan saya, keadaan ekonomi kami tidak pernah berubah sejak tahun 1380 H itu sampai sekarang. Perlu diketahui bahwa kami tinggal bersama dalam satu rumah, dan harta yang sekarang mereka miliki memang mereka dapatkan dari usaha mereka sendiri, tanpa menjual sedikit pun barang-barang milik saya yang saya peroleh pada saat mereka belum berpenghasilan. Penghasilan saya saat ini sudah mencukupi keperluan saya. Berilah penjelasan kepada kami, semoga Allah memberi pahala kepada Anda.
Jawaban
Jika realitasnya seperti yang telah disebutkan, maka: Pertama, rumah yang Anda beli di Riyadh merupakan milik anak sulung Anda sebagian, dan sebagian lagi milik Anda, karena dibeli dengan uang Anda berdua. Setengah yang menjadi milik Anda itu harus dibagi secara adil untuk anak-anak Anda, berdasarkan hadits
“Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil kepada anak-anakmu.”
Kecuali apabila Anda berdua telah meniatkan bahwa rumah itu menjadi milik bersama, atau anak sulung Anda berniat memberikan rumah tersebut untuk Anda saja.
Kedua, harta yang dimiliki oleh masing-masing anak Anda dan didapatkan dari usahanya sendiri merupakan milik pribadi mereka. Anda hanya boleh mengambil harta tersebut karena suatu hal yang darurat atau suatu keperluan jika dengan niat memiliki (bukan meminjam). Mengenai pabrik yang dibeli oleh anak sulung Anda dengan uangnya sendiri, maka pabrik dan keuntungan yang diperoleh adalah miliknya.
Anak-anak yang lain tidak mempunyai hak apa pun. Kemudian, tanah yang dia beli di Riyadh khusus menjadi miliknya sebagian karena dia membayar setengahnya dengan uang pribadi, sementara setengah sisanya (yang dilunasi berdua) menjadi milik Anda berdua karena pembayarannya dilakukan berdua tanpa melibatkan anak-anak yang lain. Artinya, hak Anda pada tanah tersebut adalah seperempatnya, dan harus dibagi rata untuk semua anak, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam hadits.
Semua yang didapatkan setiap anak dengan usahanya sendiri adalah hak mereka masing-masing, jika Anda tidak memintanya dari anak tersebut karena sesuatu yang mendesak atau suatu keperluan dengan niat memiliki (bukan pinjaman). Dengan demikian, Anda boleh mendapatkan harta yang Anda minta. Apabila Anda dan anak-anak bersepakat bahwa harta yang dihasilkan oleh masing-masing akan menjadi milik bersama, maka statusnya adalah milik bersama, sesuai dengan niat atau kesepakatan awal. Ini berdasarkan hadits,
“Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya.”
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.