Melontar Jumrah `Aqabah Setelah Pertengahan Malam |
Pertanyaan
Allah memberikan taufik kepada saya untuk menunaikan haji ke Baitullah tahun ini, akan tetapi ada yang mengganggu pikiran saya ketika melaksanakan haji, yaitu ketika kami keluar dari Arafah pada tanggal sembilan Dzulhijjah menuju Muzdalifah, kami sampai di Muzdalifah pukul setengah sebelas malam dan kami melaksanakan salat Magrib dan Isya dengan cara jamak qashar.
Sebenarnya saya ingin untuk bermalam di Muzdalifah sampai terbit fajar akan tetapi suami saya dan beberapa laki-laki yang juga membawa istrinya bersikukuh untuk meninggalkan Muzdalifah pada pukul dua belas malam. Mereka berdalih bahwa bersama mereka ada kaum wanita yang lemah dan kondisi mereka sama dengan kaum wanita. Kami sampai di Mina pukul satu malam dan kami melontar Jumrah ‘Aqabah pukul satu lewat seperempat pada malam itu juga. Muncul dalam diri saya beberapa pertanyaan berkenaan dengan keluarnya kami dari Muzdalifah.
Apakah ini sah atau tidak? Ini menjadi beban pikiran saya sehingga saya banyak bertanya dan bagi suami saya ini juga menjadi pikirannya sehingga dia juga banyak bertanya. Banyak para syeikh yang menjawab bahwa perbuatan kami sah dan tidak salah. Namun ada seorang syeikh yang bernama Shaleh al-Ghazali yang mengatakan bahwa kami wajib mengulangi ihram, maksudnya kami harus memakai kembali pakaian ihram dan mengulang melontar jumrah.
Hal ini terjadi pada hari raya. Kemudian suami saya memakai pakaian ihram dan kami berniat untuk melakukan ihram karena perempuan tidak memiliki pakaian khusus untuk ihram. Pada tanggal sepuluh Dzulhijjah itu juga kami berangkat dan melontar jumrah kemudian kami melakukan tahallul sebagaimana yang disampaikan sebelumnya oleh syekh tersebut. Beliau juga memfatwakan bahwa setiap kami wajib membayar dam. Kami menunda membayar dam sampai mendapatkan kepastian apakah kami wajib membayar dam atau tidak.
Apakah keluarnya kami dari Muzdalifah pukul dua belas malam sah, apakah ketika kami melontar Jumrah ‘Aqabah pukul satu lewat seperempat malam sah, apakah keingingnan saya untuk bertanya dan mendapatkan jawaban serta keinginan suami saya memberi jawaban dipandang sebagai hal yang berlebih-lebihan dan perdebatan yang dapat merusak haji?
Apakah perbuatan kami yang kedua, yaitu mengulang ihram dan melontar jumrah kemudian bertahallul dianggap sebagai kesalahan yang membuat kami berdosa dan apakah kami wajib membayar kafarat atau ini merusak ibadah haji kami sehingga kami wajib mengulangnya?
Jawaban
Bermalam di Muzdalifah termasuk salah satu wajib haji. Bermalam di Muzdalifah bisa dilaksanakan dengan cara berada di sana di sebagian besar malam. Karena Anda keluar dari Muzdalifah pukul dua belas malam sebagaimana yang Anda sebutkan maka hal ini tidak apa-apa sebab telah lewat dari pertengahan malam sehingga tidak apa-apa keluar dari Muzdalifah setelah pertengahan malam bagi orang-orang yang lemah seperti perempuan dan sejenisnya serta orang yang mendampingi mereka.
Melontar Jumrah ‘Aqabah pada malam hari pada waktu yang disebutkan di atas sah dan ini sudah cukup bagi Anda karena ada rukhsah (keringanan) bagi orang-orang lemah seperti wanita, orang tua dan orang yang mendampingi mereka untuk melontar setelah lewat pertengahan malam Nahr (malam 10 Dzulhijjah) sebelum orang-orang ramai untuk melontar sebagai kemudahan dan menghilangkan kesulitan dari mereka. Tatkala Anda mengulang kembali memakai pakaian ihram dan melontar jamrah setelah melakukan tahallul yang pertama maka hal ini tidaklah dianggap sehingga Anda tidak berdosa dan tidak ada kewajiban membayar kafarat, karena tahallul pertama itu setelah melontar jumrah dan mencukur rambut.
Adapun pertanyaan yang Anda ajukan untuk mengetahui hukum agama dalam masalah yang Anda hadapi tidak termasuk sebagai sikap berlebih-lebihan dan berdebat yang dapat merusak ibadah haji, bahkan hal ini termasuk sesuatu yang dianjurkan agar seorang Muslim bisa mengetahui perkara agamanya dan bisa melaksakannya sesuai dengan yang Allah syariatkan. Dan hendaknya Anda tidak bertanya tentang permasalahan agama keculi kepada orang diyakini kapasitas ilmunya dan fatwanya bisa dipercaya. Allah Ta’ala berfirman,
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nal: 43)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.