Perjanjian Antara Anggota Suku al-‘Amamirah Tentang Diat |
Pertanyaan
Sebuah perjanjian telah disepakati oleh semua anggota suku al-‘Amamirah yang terdiri dari suku al-Qatsmah dan al-Mumatstsilah, yang meliputi:
1 . Dzawi Rajih, di antaranya adalah ‘Awadh bin Madz’ur.
2 . Dzawi Malfi, di antaranya adalah Hamud bin Ma’la, Muthlaq bin Shalih, Khalaf Ghubaisy, Salim Syabab, Muhsin Ma’ifan, Samih Hadyan, Su’ud bin Muhammad, dan Sa’d bin Muhammad.
3 . Dzawi Nashir, di antaranya adalah Safar bin Mathir, ‘Ayyad bin Buraik.
4 . Dzawi Rajjah, di antaranya adalah Ali bin Syunair, Qablan bin Dawarij, dan Khalaf ‘Ammar.
5 . Dzawi Ammar, di antaranya adalah Ibrahim bin Falhan, dan ‘Athi Fulaih.
6 . Al-`Arud, di antaranya adalah Abdullah Munir, Nawwar bin ‘Ayid, dan Musfir bin Khalaf.
7 . Dzawi Khunaifis, di antaranya adalah Dasman bin Syaddad.
8 . Dzawi Ubyan, di antaranya adalah Ubaid bin Sulaiman.
9 . Dzawi Fayid, di antaranya adalah Abdullah bin Muslim.
10 . Dzawi Ma’in di antaranya adalah Muhayyal Bati’.
Mereka bersepakat untuk terikat pada perjanjuan berikut:
Pertama, denda yang telah disepakati adalah membayar ganti rugi korban kecelakaan (diat) tanpa mengganti kerusakan-kerusakan pada mobil atau kendaraan lainnya.
Kedua, denda diwajibkan kepada semua anggota suku yang usianya masuk empat belas tahun. Jika ada kejadian lain selain kecelakaan mobil, maka kewajiban membayar denda hanya untuk orang yang genap berusia empat belas tahun saja.
Ketiga, pelaku tidak dalam keadaan mabuk atau mengkonsumsi minuman keras apapun jenisnya saat terjadi kecelakaan.
Keempat, pelaku wajib melapor secara langsung kepada kepala suku selambat-lambatnya tujuh hari setelah kejelakaan, agar segera diberitahukan kepada anggota suku untuk mengambil tindakan atas kejadian tersebut.
Kelima, anggota suku harus membayar diat sedikit atau banyak atas kecelakan yang terjadi sesuai dengan kesepakatan tersebut.
Keenam, kecelakaan yang terjadi di dalam daerah sejauh seribu kilometer, maka kepala suku atau orang yang mewakilinya harus mendatangi lokasi kecelakaan dan menyelesaikan masalahnya.
Ketujuh, kecelakaan yang terjadi di luar daerah sejauh seribu kilometer, maka pelaku wajib melapor kepada kepala suku terlebih dahulu, lantas menyelesaikan masalahnya jika mampu menyelesaikannya.
Pelaku membawa bukti berupa dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kebenaran hal itu. Apabila dia tidak mampu menyelesaikan masalahnya, hendaklah dia meminta kepada kepala suku agar datang ke lokasi kejadian atau menyuruh orang yang dapat meyelesaikannya.
Kedelapan, siapa pun di antara anggota suku dan bagaimanapun kondisinya tidak boleh bertindak tanpa meminta pendapat kepala suku. Pelaku yang bertindak atas dasar pendapatnya sendiri dengan membayar denda atau menanggung biaya kecelakaan tanpa sepengetahuan dari kepala suku, maka dia dianggap telah melanggar dan harus menanggung akibatnya.
Kesembilan, apabila ada anggota suku yang tidak mau membayar denda sesuai kesepakatan kepada kepala suku atau suku yang turut serta dalam perjanjian tersebut, maka akan dilaporkan kepada pemerintah agar menuntutnya untuk membayar denda atas nama anggota suku. Padahal, jika Allah menakdirkan seseorang mengalami kejelakaan dan dia menunda pembayaran denda, maka anggota suku tidak bertanggung jawab atas pembayaran tersebut, namun dia sendiri yang harus membayarnya.
Kesepuluh, kepala suku menentukan waktu rapat dengan pelaku kecelakaan, dan menyampaikan hasil rapatnya kepada anggota suku.
Kesebelas, semua anggota suku harus menaati syarat-syarat tersebut sesuai dengan perjanjian, dan tidak boleh menuntut baik dengan alasan tidak sesuai dengan keadilan maupun mazhab. Namun, semua anggota suku wajib menaati ketentuan tersebut.
Kedua belas, perjanjian beserta syarat-syarat yang telah ditetapkan tersebut menjadi batal apabila salah satu pihak melanggarnya.
Perjanjian tersebut telah ditandatangani. Semoga Allah memberi taufik.
Jawaban
Setelah memperhatikan perjanjian tersebut didapati mengandung kewajiban atas anggota suku untuk membayar uang, dan barangsiapa tidak mematuhinya, maka akan dilaporkan ke lembaga pemerintah untuk memaksanya agar membayar.
Padahal mewajibkan dan memaksa mereka untuk mematuhi perjanjian tersebut hukumnya tidak boleh, karena kewajiban tersebut tidak diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, dan termasuk mengambil harta orang muslim tidak dengan kerelaannya, serta dapat menyebabkan rasa dendam dan kebencian di kalangan umat Islam.
Hal ini bertentangan dengan syariat Islam yang menganjurkan saling kasih sayang dan bersatu dalam kebaikan. Oleh karenanya, wajib untuk meninggalkan perjanjian tersebut.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.