Pengemban Wasiat Boleh Mengambil Pendapatan Wasiat Itu Seperlunya Dengan Cara Yang Makruf Sebagai Upah Jerih Payahnya

1 menit baca
Pengemban Wasiat Boleh Mengambil Pendapatan Wasiat Itu Seperlunya Dengan Cara Yang Makruf Sebagai Upah Jerih Payahnya
Pengemban Wasiat Boleh Mengambil Pendapatan Wasiat Itu Seperlunya Dengan Cara Yang Makruf Sebagai Upah Jerih Payahnya

Pertanyaan

Suami saya rahimahullah telah wafat dengan meninggalkan wasiat yang salinannya akan saya lampirkan untuk Anda. Wasiat itu berbunyi: Setelah kepergianku nanti, aku mewasiatkan kepada istriku, Fatimah Binti Abdullah al-‘amar, duapertiga dari keseluruhan harta milikku; saham, aset, kas, dan sumber lainnya dari perusahaanku dan kepemilikanku yang bergerak atau tidak bergerak berupa properti dan tanah, baik yang ada di dalam mapun di luar Kuwait supaya sepertiga harta ini digunakan untuk menafkahi semua kebutuhan anak-anakku yang masih kecil dan untuk kebutuhan anak-anakku yang sudah besar; laki-laki dan perempuan, serta jika Fatimah membutuhkannya, maka dia boleh mengambil sesuai kadar kebutuhannya. Pihak yang berwasiat, Abdul Razak, memberi wewenang kepada istrinya, Fatimah, untuk berwasiat sepeninggalnya kepada salah seorang anaknya yang saleh dan dewasa.

Mohon kesediaan Anda untuk mengeluarkan fatwa syar’i yang resmi dan terperinci yang berisi keterangan dan penjelasan hal-hal berikut:

1. Dalam teks wasiat terdapat bunyi (Harta yang sepertiga ini digunakan untuk menafkahi anak-anakku yang membutuhkan). Apakah pada prinsipnya ini merupakan wasiat sosial dan anak-anak dan istri boleh memanfaatkan sebagiannya saat mereka butuh? Apakah mereka lebih berhak untuk memanfaatkan harta itu daripada para fakir dan miskin pada umumnya? atau wasiat tersebut terbatas kepada orang-orang yang membutuhkan dari ahli waris dan tidak boleh diinfakkan untuk kegiatan-kegiatan sosial lainnya? atau wasiat tersebut adalah wasiat sosial saja, berdasarkan nas ” tidak ada wasiat untuk ahli waris” sehingga membatalkan bagian wasiat yang berhubungan kebolehan pemanfaatan ahli waris?

2. Maksud perkataanya: “anak-anakku yang sudah besar: laki-laki dan perempuan;” apakah juga mencakup cucunya? Jika wasiat terbatas hanya untuk anak-anak dan istri, lantas bagaimana hukum syar’i terhadap harta yang tersisa setelah mereka meninggal dan siapa saja yang boleh memanfaatkannya?

3. Maksud perkataannya ”Kebutuhan” yang disebutkan dalam wasiat itu: apakah artinya langsung, yaitu pada saat almarhum wafat, atau pada masa mendatang, yaitu bisa jadi kebutuhan itu muncul di masa mendatang (Allah lebih tahu)? Apakah wasiat boleh dibatalkan atas dasar tidak adanya orang yang berkekurangan atau yang membutuhkan pada saat sekarang? Catatan: suami saya dulunya suka berbuat baik dan sering membantu orang-orang yang membutuhkan di antara kaum muslimin dan dia ingin sekali hal itu berlanjut setelah dia wafat.

Harap beri penjelasan secepat mungkin tentang isi wasiat tersebut karena saya tidak bisa memulai melaksanakan wasiatnya sampai mendapatkan keterangan yang benar dan jelas sesuai dengan yang dipahami para ulama syar`i. Mohon menyegerakan permintaan saya. Semoga Allah Ta`ala memuliakan dan menolong agama ini melalui Anda. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan.

Jawaban

Pertama, Wasiat dilaksanakan pada batas sepertiga dari semua jumlah hartanya.

Kedua, Pendapatan dari sepertiga itu disalurkan untuk kegiatan-kegiatan sosial, seperti membangun dan meronovasi masjid, menolong orang-orang fakir, dan membantu jihad fi sabilillah.

Ketiga, Disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan di antara anak laki-laki dan perempuannya, baik yang masih kecil ataupun yang sudah besar, serta keturunan mereka dengan mendahulukan yang terdekat sesuai kadar kebutuhan mereka, tanpa berlebihan atau mubazir. Barangsiapa telah diberi kecukupan oleh Allah, maka ia tidak berhak atas pendapatan sepertiga tersebut.

Keempat, Kebutuhan yang membolehkan mereka mengambil bagian dari pendapatan sepertiga adalah kebutuhan yang membolehkan mereka untuk menerima zakat, baik karena fakir atau karena berhutang.

Kelima, Orang yang mengemban wasiat boleh mengambil pendapatan harta itu seperlunya secara baik sebagai upah jerih payahnya, dengan tidak mengunakannya untuk membeli rumah atau yang lain buat dirinya sendiri guna memonopolinya dari orang lain, berdasarkan perkataan Umar radhiyallahu `anhu dalam masalah wakafnya, ”

Tidak mengapa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan hasilnya atau memberi makan temannya secara makruf, tetapi tanpa mengembangkan uangnya.” Semoga Allah membantu Anda di dalam melaksanakan wasiatnya sesuai syariat dan memberi kita taufik kepada jalan kebaikan.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 12641

Lainnya

Kirim Pertanyaan