Memadu (Menikahi) Wanita Dan Istri Ayahnya (Ibu Tirinya)

1 menit baca
Memadu (Menikahi) Wanita Dan Istri Ayahnya (Ibu Tirinya)
Memadu (Menikahi) Wanita Dan Istri Ayahnya (Ibu Tirinya)

Pertanyaan

Segala puji hanyalah bagi Allah. Selawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad yang tiada nabi sesudah beliau. Selanjutnya:

Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah mengkaji permohonan fatwa yang diajukan kepada Mufti Umum, yang berasal dari Wakil Kepala Pengadilan Provinsi al-Ahsa` (Saudi), dengan nomor (1471/1), tertanggal 1/6/1420 H. Ia meminta agar Mufti Umum mengkaji surat yang dikirimkan oleh seorang hakim di pengadilan agama pusat al-Ahsa` (Saudi), yaitu Syaikh Tamim bin Muhammad al-Unaizan.

Terkait permohonan yang diajukan oleh (KH. N. ‘A), tentang pernikahannya dengan seorang wanita yang bernama (S. ‘A. A), yaitu dia telah menikahi istrinya yang pertama dan ibu tirinya (istri ayahnya) sekaligus. Adapun isi surat tersebut adalah sebagai berikut.

Kepada yang terhormat, Wakil Kepala Pengadilan al-Ahsa’. Semoga Allah menganugerahkan keselamatan kepadanya.
Assalamu`alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Selanjutnya: Berikut ini kami sertakan seluruh berkas yang Anda kirimkan kepada kami, dengan nomor 580, pada tanggal 27/5/1420 H, tentang permohonan (KH. N. ‘A) untuk menikahi seorang wanita bernama (S. ‘A. A) yang berkebangsaan Mesir, yang telah mendapat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri dengan surat keputusan bernomor (17/ 1787), tertanggal 26/7/1419 H., dan disertai permohonan dari Anda agar kami mengkajinya.

Berdasarkan hal itu, saya hendak menyampaikan bahwa setelah meminta keterangan dari sang suami, diketahui bahwa dia telah menikah dengan putri (A. S. B). Kami juga menemukan fakta bahwa (S) merupakan istri (A) yang telah memperoleh status talak bain dengan meninggalnya sang suami, dan bukan ibu dari istrinya (mertuanya). Dia ingin menikahi istrinya dan ibu tiri istrinya tersebut.

Berhubung masalah ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama Rahimahumullah sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab (al-Mughni) dan yang lainnya dan mengingat adanya kaedah fikih yang mengatakan: (Haram hukumnya menghimpun (menikahi) dua perempuan, yang seandainya salah seorang di antara keduanya adalah laki-laki sementara yang satunya lagi perempuan.

Maka keduanya tidak boleh menikah), maka saya hendak mengajukan seluruh berkas kepada Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi, Ketua Dewan Ulama Senior, dan Kantor Riset Ilmiah dan Fatwa, agar yang bersangkutan mengeluarkan fatwa tentang hal itu.

Tujuannya adalah agar kami terbebas dari tanggung jawab. Selain itu, kami juga khawatir jika sebelumnya sudah ada fatwa tentang masalah ini. Hanya Allah Dzat yang dapat memberi pertolongan. Wassalam.

Jawaban

Setelah mengkaji masalah ini, Komite Fatwa memberikan jawaban bahwa seorang lelaki boleh menghimpun (menikahi) seorang wanita dan istri ayahnya (ibu tirinya) jika keduanya tidak memiliki hubungan susuan karena tidak ada alasan syar’i yang menghalangi hal itu.

Selain itu, syariat juga tidak melarangnya. Adapun kaedah yang disebutkan sebagian ahli fikih (bahwa seorang lelaki diharamkan untuk menghimpun (menikahi) dua wanita, yang seandainya salah seorang di antara keduanya adalah laki-laki.

Sementara yang satunya lagi perempuan maka keduanya tidak boleh menikah) alasannya adalah karena di antara keduanya masih ada hubungan kekerabatan untuk menghindari retaknya hubungan silaturrahim di antara sesama kerabat karena sesama istri biasanya ada persaingan dan rasa cemburu.

Sementara itu, alasan ini tidak ditemukan ketika seorang lelaki menghimpun (menikahi) wanita berikut istri ayahnya (ibu tirinya) karena tidak ada hubungan kekerabatan rahim di antara keduanya. Larangan tersebut khusus bagi orang yang memiliki hubungan kekerabatan rahim, dengan memperhatikan perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam hal ini.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 21515

Lainnya

Kirim Pertanyaan