Apakah Melakukan Amar Ma’ruf Merupakan Kewajiban Setiap Orang Atau Hanya Kelompok Tertentu?

3 menit baca
Apakah Melakukan Amar Ma’ruf Merupakan Kewajiban Setiap Orang Atau Hanya Kelompok Tertentu?
Apakah Melakukan Amar Ma’ruf Merupakan Kewajiban Setiap Orang Atau Hanya Kelompok Tertentu?

Pertanyaan

Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

” Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali-‘Imran : 110)

Ayat ini dan hadis yang berhubungan dengannya menunjukkan bahwa khitab ditujukan kepada setiap individu. Artinya, jika seorang individu melihat kemungkaran, maka hendaklah dia berusaha mengubahnya. Jika dia melihat seseorang lalai dalam berbuat baik, maka hendaklah dia memotivasinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Dan hendaklah ada di antaramu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali-‘Imran : 104)

Sesungguhnya ayat ini mengisyaratkan untuk mendirikan dan membentuk jamaah. Namun, siapa yang harus bertanggung jawab, apakah kewajibannya kembali kepada ulil amri (pemegang tapuk kekuasaan) sebagaimana yang terdapat dalam Alquran, ataukah kepada individu?

Ada yang bertanya: jika seseorang mendirikan jamaah, maka apakah boleh bagi yang lain untuk mendirikannya pula, dan begitu seterusnya?

Jika seseorang tidak boleh membuat jamaah baru apabila sudah ada yang mendirikan jamaah sebelumnya, maka bagaimana syariat Islam memandang jika terbukti jamaah yang pertama menyimpang dari jalan yang lurus dan melenceng dari tujuannya?

Bagaimana caranya berkomitmen dengan hukum syariat dan apakah ketika itu boleh bagi individu lain untuk mendirikan jamaah yang baru?

Jawaban

Pertama, firman Allah Ta’ala,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali-‘Imran : 110)

Khithab ini berlaku umum bagi seluruh umat ijabah (kaum muslimin/orang yang sudah memeluk agama Islam – ed.), baik pemimpin maupun rakyat, hingga hari kiamat.

Salut untuk mereka karena telah beriman dan menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dengan tangan, lisan, atau pengingkaran dengan hati.

Masing-masing sesuai dengan kemampuannya seperti yang tampak secara zahir dalam khithab tersebut, dan berdasarkan keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai, dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda,

من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

“Siapa di antara kamu sekalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah dia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.”

Khithab ini tidak hanya ditujukan kepada individu, seperti yang dipahami penanya.

Kedua, Allah Ta’ala berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Dan hendaklah ada di antaramu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali-‘Imran : 104)

Ini adalah perintah bagi seluruh umat ijabah untuk mempersiapkan sebagian dari mereka dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu orang-orang yang layak dalam ilmu pengetahuan, wawasan, perbuatan, dan akhlak.

Yaitu mereka yang siap menghadapi hal ini, serta melakukannya dengan cara yang baik untuk menyampaikan agama, memberi nasihat, dan mampu memperbaiki kondisi umat.

Jika ada kelompok yang melakukannya, maka kewajiban ini gugur bagi yang lain. Namun jika tidak ada, maka semuanya berdosa, sebagaimana yang berlaku dalam hukum fardu kifayah. Adapun sistem pengaturan dan cara melaksanakannya dikembalikan kepada ulil amri dari kalangan ulama dan pemerintah.

Terkadang kesadaran ilmiah dan pemahaman agama dalam suatu umat telah mencapai kepada derajat tertentu, yang mampu mendorong jamaah dan individu melakukan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dengan sebaik-baiknya. Tidak ada kelalaian, fitnah, atau penyimpangan dari syariat.

Dalam kondisi seperti ini, peran ulil amri hanya berpartisipasi dalam pendidikan, dakwah, bekerja sama dengan masyarakat untuk kebaikan, membawa kemajuan dalam bidang agama dan dunia, serta saling menasihati antara pemimpin dengan rakyat, seperti yang terjadi pada awal Islam.

Terkadang ulil amri menemukan kelalaian dalam pendidikan dan mempersiapkan para dai, atau mendapati penyimpangan dalam dakwah dan perbedaan pendapat. Oleh karena mereka takut terjadi fitnah, kesemrawutan, dan kekacauan, maka mereka terpaksa mengatur sistem pendidikan seluruhnya.

Caranya dengan mempersiapkan para dai dan mengatur metode berdakwah kepada Allah yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebahagiaan umat dalam peradaban, serta menjamin kebangkitan dakwah dengan cara menyeru kepada kebaikan dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Yang dapat pula mencegah terjadinya fitnah serta menghilangkan penyimpangan.

Jika ada seorang Muslim yang menyeru kepada kebaikan dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara individu, atau ada satu atau beberapa jamaah yang bersepakat, baik secara bersamaan atau pun berbeda-beda, untuk melakukannya dan bekerjasama di antara mereka untuk menyebarkan Islam dan memajukan umat di suatu tempat, baik berjauhan atau berdekatan.

Maka, apabila tugas dakwah yang mereka lakukan sesuai dengan tuntutan syariat, mereka perlu dibantu. Namun, jika mereka melakukan penyimpangan, atau dakwah yang mereka sampaikan mendatangkan fitnah atau mudarat yang lebih besar dari manfaatnya, maka ulil amri berkewajiban membimbing, mengarahkan, dan mengevaluasi untuk memperbaiki kondisi dan mengambil manfaat dari mereka.

Jika itu tidak memungkinkan, maka wajib menahan dan melarang mereka melakukan tugas dakwah dalam rangka mendahulukan maslahat yang lebih besar dan mengambil mudarat yang lebih ringan, serta menyandarkan urusan dakwah kepada orang yang pantas mengembannya, untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindar fitnah serta mudarat.

Dengan demikian, jelaslah jawaban dari pertanyaan yang disebutkan.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 1392

Lainnya

  • Seorang ayah harus memberikan kepada putra dan putrinya pendidikan yang islami. Sebab, mereka adalah amanah bagi sang ayah dan...
  • Jika puisi mengandung kebohongan, syirik, senda gurau (yang tidak bermanfaat), candaan, menggoda orang, dan sejenisnya, maka puisi tersebut dilarang....
  • Kitab al-Jawahir fi `Uqubah Ahl al-Kabair karya Syekh Zainuddin al-Malibari bukan termasuk kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam masalah...
  • Setelah wahyu agama sempurna dan hukum-hukum syariat telah stabil dengan wafatnya Nabi Shallalllahu `Alaihi wa Sallam, maka hukum-hukum Islam...
  • Tidak boleh, karena hal itu dapat menimbulkan fitnah. Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa...
  • Jika Anda mampu untuk pindah ke negara-negara Islam, maka Anda wajib melakukannya, demi menyelamatkan agama Anda. Karena Allah Subhanahu...

Kirim Pertanyaan