Mengangkat Wanita Sebagai Pemimpin Rombongan Haji |
Pertanyaan
Apa hukumnya mengangkat wanita sebagai pemimpin jamaah haji, atau sebagai pemandu jamaah pada musim haji?
Jawaban
Islam tidak membolehkan wanita sebagai pemimpin jamaah haji karena beberapa sebab di antaranya berdasarkan sifat umum sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam,
“Suatu bangsa tidak akan beruntung jika kepemimpinan mereka diserahkan kepada seorang perempuan.”
Dalam sejarah, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat wanita sebagai pemimpin daerah, atau sebagai pemimpin jamaah haji. Begitu juga pada masa Khulafa’ Rasyidin (masa khalifah yang empat; Abu Bakr, ‘Umar ibn al Khaththab, ‘Usman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum), atau tiga masa sesudahnya yang mana Nabi bersaksi akan keutamaan tiga masa tersebut. J
adi jelaslah bahwasanya Nabi tidak pernah mengangkat wanita sebagai seorang pemimpin, apakah itu pemimpin tertinggi (presiden), seorang hakim, pemimpin daerah atau desa atau pemimpin haji. Seandainya pengangkatan wanita sebagai pemimpin boleh dalam Islam, maka tidak mungkin Nabi serta tiga masa sesudahnya meninggalkan hal itu dalam waktu yang lama sekali.
Jadi pelarangan wanita sebagai pemimpin sudah merupakan ijmak (kesepakatan) dari Nabi dan tiga masa sesudahnya. Alasan lain kenapa wanita dilarang sebagai pemimpin haji adalah, kawatir akan terjadi percampurbauran dengan jamaah haji lelaki terutama ketika dia berusaha menyelesaikan permasalahan mereka, mengatur urusan mereka, mengurus semua keperluan mereka, dan menjadi delegasi (wakil) mereka untuk menemui para pemimpin jamaah lain dan sejenisnya.
Dan ini termasuk hal-hal yang tidak layak dilakukan oleh seorang wanita, karena itu akan beresiko baginya bahkan bisa mencemari kehormatannya. Selain itu wanita juga lemah akal dan agamanya, hal ini berdasarkan kesaksian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Oleh sebab itu tidak pantas kita menyandarkan kepemimpinan pada wanita, karena kepemimpinan memerlukan pertimbangan yang kuat dan matang, manajemen serta kebijakan yang baik.
Lebih khusus lagi pelarangan wanita sebagai pemimpin ketika melakukan perjalanan karena dalam perjalanan tersebut, besar kemungkinan dia akan berkumpul dengan kaum lelaki sementara dia tidak bersama mahramnya (lelaki yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab, perkawinan dan sesusuan) atau berada pada suatu pertemuan yang bercampur dengan lelaki tanpa ditemani mahramnya. Dan kedua hal ini sama-sama tidak dibolehkan.
Itulah sebabnya komite fatwa menetapkan pelarangan wanita sebagai pemimpin, karena hal itu bertentangan dengan tabiat atau fitrah yang sudah ditakdirkan Allah baginya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.