Cara Wanita Muslimah Bekerja Di Jepang Dengan Tetap Menjaga Agamanya

5 menit baca
Cara Wanita Muslimah Bekerja Di Jepang Dengan Tetap Menjaga Agamanya
Cara Wanita Muslimah Bekerja Di Jepang Dengan Tetap Menjaga Agamanya

Pertanyaan

Berkat karunia dan hidayah Allah, sebagian wanita Jepang menyatakan masuk agama Islam. Dari sini mulai terjadi gesekan dengan masyarakat Jepang yang atheis yang tetap menginginkan penduduknya kafir, bahkan orang-orang yang dulunya memeluk Nasrani banyak yang beralih ke agama Islam, karena mereka tidak berkomitmen dalam agama Nasraninya yang memang sudah terdistorsi.

Seseorang meminum khamr, memakan daging babi, memiliki teman wanita haram, namun ia merupakan seorang pengikut agama Nasrani yang percaya dengan Tuhan, Tuhan Anak, dan Ruh Qudus. Tiada daya dan upaya melainkan milik Allah yang Maha Esa tempat bergantung yang tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak seorang pun sepadan dengan-Nya.

Akan tetapi saat ia pindah ke agama Islam, ia menjadi sosok yang berbeda dengan orang lain, meninggalkan masyarakatnya, dan meninggalkan klub-klub hiburan. Masyarakat mengucilkannya dan melihatnya secara tidak proporsional.

Dia sering mengalami pengucilan dan pelarangan untuk bekerja padahal ia adalah warga negara Jepang seperti mereka. Bagaimana ia dapat melakukan perbuatan buruk ini dan beralih ke agama Islam, lantas meninggalkan perayaan-perayaan masyarakatnya, khamr, daging babi, dan salat kepada Allah yang tidak dianggap sebagai Tuhan oleh masyarakatnya.

Masalah ini semakin rumit terkait wanita karena ia lebih lemah dan sumber finansialnya biasanya masih tergantung pada pekerjaan jika ia punya pekerjaan atau tergantung kepada keluarganya yang kafir. Dan di antara masalah-masalah yang dihadapi oleh seorang wanita Muslimah adalah permasalahan menjalankan kewajiban semisal memakai hijab.

Seringkali pekerjaannya mencegahnya untuk mengenakan hijab, sebagaimana juga ia dilarang untuk menunaikan salat wajib di tempat kerjanya. Hal itu membuatnya tidak dapat menunaikan salat tepat pada waktunya, dan akhirnya mengerjakan seluruhnya dengan cara qada, karena ia takut dipecat sementara pekerjaan tersebut merupakan sumber rejeki satu-satunya baginya sebab ia benar-benar hidup terasing dari keluarganya.

Di keluarganya tidak ada yang masuk agama Islam selain dirinya. Masalah lain yang dihadapi oleh wanita Muslimah adalah ia tidak bisa berpuasa bulan Ramadan. Ia menyembunyikan keislamannya dari keluarganya, khususnya kepada ibunya yang sangat ekstrim, yang rela puterinya kafir namun tidak rela puterinya masuk agama Islam. Perlu diketahui bahwa wanita Muslimah ini berumur 18 tahun, yang masih kuliah dengan biaya keluarganya.

Oleh karena itu, ia masih tinggal satu rumah bersama keluarganya. Ia makan, minum, dan menjalani seluruh aktivitas kehidupan bersama keluarganya. Oleh karena itu, terkadang ia juga melakukan hal-hal haram yang keluarganya lakukan. Ia juga tidak dapat menjalankan ibadah puasa Ramadan.

Jika ia menunaikan puasa Ramadan maka hal itu akan tampak aneh di hadapan keluarganya dan mereka akan mengetahui keislamannya. Jika mereka mengetahuinya maka mereka akan mulai menyakitinya dan mencegahnya dengan berbagai cara agar dia tidak menyelesaikan studinya serta membuat kehidupannya menderita, padahal mereka adalah sumber utama dan satu-satunya bagi masa depannya.

Ada masalah ketiga mengenai seorang lelaki Jepang yang masuk agama Islam berkat karunia dan rahmat Allah, akan tetapi istrinya masih tetap kafir, demikian pula anak-anaknya na’udzubillah. Lelaki ini tidak mengetahui apa yang harus ia perbuat kepada mereka. Oleh karena itu, di sini kami ingin bertanya kepada Anda mengenai hal-hal berikut ini:

1. Apa yang harus dilakukan oleh wanita Muslimah Jepang dalam posisinya sebagaimana yang telah disebutkan di atas?

2. Apa yang harus dilakukan oleh lelaki Muslim tersebut terhadap istrinya? Apakah istrinya tetap halal baginya jika ia tetap kafir? Dan apa yang harus ia perbuat kepada anak-anaknya?

3. Apakah sah salat seorang wanita di luar rumahnya dan di tempat-tempat umum, dalam posisi duduk dengan tujuan agar auratnya tidak kelihatan? Semoga Allah membalas Anda dengan balasan yang terbaik karena mereka dan karena kaum Muslimin.

Jawaban

Pertama, barangsiapa masuk agama Islam dan menyembunyikan identitas keislamannya karena khawatir ada bahaya, maka hendaknya ia berusaha menjelaskan kebaikan Islam kepada orang yang ia takuti tersebut tanpa menampakkan bahwa ia telah masuk agama Islam.

Hendaknya ia juga mendoakan orang tersebut mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala agar melapangkan dadanya untuk menerima kebenaran Islam, sehingga dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kebaikan dengan keislamannya dan mencegah bahaya yang ia takutkan.

Jika orang tersebut belum mendapatkan hidayah dari Allah dan bahaya tetap mengancam dirinya, atau karena negara tersebut tidak mengizinkan untuk menampakkan keislaman, maka ia wajib berhijrah ke negeri kaum Muslimin jika mampu. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 100)

Maksudnya adalah ia mendapatkan tempat pindah dan terlepas dari perkara yang tidak ia sukai, serta mendapat keluasan dari kesesatan menuju hidayah, dari sempit menuju lapang, dan dari fakir menuju kaya.

Adapun jika ia tidak mampu untuk berhijrah, seperti orang yang tertindas, maka Allah Ta’ala mengampuninya, seperti orang yang dihalang-halangi untuk berhijrah, atau ia adalah seorang wanita. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلا (98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu tempat kembali yang paling buruk.(97) kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki, wanita maupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)(98) Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisaa’: 97-99)

Maknanya, mereka tidak mempunyai kemampuan secara fisik dan finansial, serta tidak mengetahui jalan menuju tempat hijrah seandainya ia keluar untuk berhijrah.

Kedua, jika seorang wanita tidak memiliki kemampuan, maka hendaknya ia menghubungi pusat-pusat Islam di negerinya jika ada, boleh jadi di sana ia mendapatkan solusi permasalahannya.

Jika tidak ada pusat-pusat Islam, maka ia harus bersabar dan menunggu solusi dari Allah Ta’ala, serta senantiasa meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memberikan kemudahan bagi perkaranya. Jika ia melakukan semua hal itu maka ia akan mendapatkan pahala. Ia juga harus senantiasa berpegang teguh dengan prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan kewajiban-kewajiban Islam sesuai kemampuannya, berdasarkan firman Allah Subhanahu,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghaabun: 16)

Dan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam,

إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم

“Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka laksanakanlah semampumu.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Ketiga, jika seorang suami masuk agama Islam dan istrinya tetap kafir, maka jika istrinya tersebut kafir kitabiyah (ahlulkitab), yaitu beragama Yahudi atau Nasrani, maka ia boleh meneruskan bahtera rumah tangganya bersama istrinya, karena hukum asalnya, seorang Muslim boleh menikah dengan wanita ahlulkitab, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini yang baik-baik dihalalkan bagimu. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelummu” (QS. Al-Maaidah: 5)

Adapun jika istrinya tersebut bukan wanita ahlulkitab maka ia tidak boleh meneruskan bahtera keluarga bersamanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Jika si istri masuk agama Islam, sedangkan suami tetap kafir, maka wanita tersebut tidak halal baginya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Dan jika wanita (istri) tersebut terpaksa dan tidak mampu untuk meninggalkan suaminya, maka hendaknya ia bersabar hingga ada solusi, sebagaimana kesabaran wanita-wanita generasi Islam pertama. Di antara wanita-wanita generasi Islam pertama adalah Zainab radhiyallahu ‘anha puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah ia masuk agama Islam, ia tetap berumah tangga dengan suaminya Abul `Ash bin Rabi` sebelum ia masuk agama Islam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu menceraikan keduanya, hingga akhirnya Zainab menemui beliau dan memisahkan diri dari suaminya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikannya lagi kepada suaminya setelah ia masuk agama Islam.

Keempat, mengenai anak-anak, hendaknya mereka mengikuti salah seorang dari kedua orang tua yang paling baik agamanya. Jika salah seorang dari kedua orang tua beragama Islam maka seluruh anaknya yang masih kecil dihukumi beragama Islam, karena anak kecil mengikuti salah seorang dari kedua orang tua yang paling baik agamanya.

Kelima, seorang wanita wajib memakai hijab dari penglihatan kaum lelaki asing (bukan mahram), menjauhi segala hal yang dapat menampakkan perhiasannya, senantiasa berada di rumah, dan tidak keluar rumah melainkan karena kebutuhan dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri. Jika waktu salat datang ketika ia berada di luar rumah, maka hendaknya ia menjauhi kaum lelaki untuk menunaikan shalat.

Alasan yang disampaikan di dalam pertanyaan tidak dianggap dapat membolehkan ia untuk tidak berdiri. Karena berdiri saat mampu merupakan salah satu rukun salat, dan saat itu dia mampu untuk berdiri.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 17336

Lainnya

Kirim Pertanyaan