Hukum Mengadopsi Anak

6 menit baca
Hukum Mengadopsi Anak
Hukum Mengadopsi Anak

Pertanyaan

Segala puji hanyalah bagi Allah. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul-Nya, kerabat dan sahabat beliau. Selanjutnya, Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa telah mengkaji pertanyaan yang diajukan oleh sekretaris pelaksana dewan Taman Hiburan Panjab, kepada yang mulia Direktur Lembaga Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan, yang dilimpahkan kepada Komite, dari Sekretaris Jenderal Dewan Ulama Senior, dengan nomor 86/2 tanggal 15/1/1392 H. Yang bersangkutan minta dikirimi sistem dan kaedah-kaedah yang berkaitan dengan hak anak hasil adopsi terhadap warisan.

Jawaban

Komite memberikan jawaban sebagai berikut:

1. Sistem adopsi sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah, sebelum datangnya ajaran Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Waktu itu, barangsiapa mengadopsi selain anaknya, maka nasab anak itu dinisbatkan kepada orang tua angkatnya, berhak mendapatkan warisan darinya, diperbolehkan berkhalwat dengan istri dan anak-anak perempuannya, dan orang yang mengadopsi diharamkan untuk menikahi istri anak angkatnya.

Secara umum, pada waktu itu anak hasil adopsi statusnya sama persis dengan anak kandung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syurahil al-Kalbi sebelum Islam. Karena itulah dia dipanggil Zaid bin Muhammad. Budaya adopsi seperti yang ada pada zaman Jahiliyah masih berlaku hingga tahun 3 atau 5 Hijriyah.

2. Allah kemudian memerintahkan untuk menisbatkan nasab anak-anak yang diadopsi kepada ayah kandung mereka, jika diketahui. Jika ayah mereka – yang pada hakikatnya merupakan asal keturunan – tidak dikenal, maka mereka adalah saudara seagama dan menjadi penolong, baik bagi orang yang mengadopsi mereka maupun yang lainnya. Allah telah mengharamkan penisbatan anak kepada orang yang mengadopsinya, dengan menggunakan nasab yang hakiki.

Allah bahkan mengharamkan kepada anak itu sendiri untuk menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, kecuali jika karena salah ucap. Jika karena salah ucap, maka tidak mengapa. Allah Subahanah menjelaskan bahwa hukum ini semata-mata adalah sumber keadilan sejati karena menyimpan nilai kejujuran dalam perkataan, menjaga nasab dan harga diri (kehormatan), dan menjaga hak-hak finansial bagi orang yang lebih berhak mendapatkannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).(4) Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu . Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kedudukan hubungan darah dalam hubungan waris.” (QS. Al-Ahzab: 4-5)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda,

من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم فالجنة عليه حرام

“Siapa mengaku anak seseorang yang bukan ayahnya padahal dia mengetahuinya, maka surga haram baginya.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda,

من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه فعليه لعنة الله المتتابعة

“Barangsiapa mengaku sebagai anak dari selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya (orang yang memerdekakan), maka baginya laknat Allah yang terus-menerus.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)

3. Dengan menghapus sistem adopsi atau anak angkat Allah berarti telah menghapus konsekuensi hukum dari sistem adopsi yang ada pada zaman Jahiliyah dan masih berlaku pada awal-awal Islam.

A. Allah menghapus hak waris antara orang yang mengadopsi (ayah angkat) dengan anak yang diadopsi (anak angkat), memberikan kesempatan kepada keduanya untuk berbuat baik satu sama lain semasa hidup, dan berbuat baik dengan cara wasiat yang menjadi haknya, setelah pemberi wasiat meninggal dunia, dengan syarat wasiat tersebut tidak melebihi sepertiga harta pemberi wasiat.

Syariah telah menjelaskan secara detail hukum-hukum warisan dan orang-orang yang berhak mendapatkannya. Dalam penjelasan detailnya, orang yang mengadopsi anak dan anak yang diadopsi tidak termasuk dalam kategori orang yang berhak mendapatkan warisan. Allah juga telah menjelaskan masalah warisan, berbuat baik dan makruf secara global. Allah Ta’ala berfirman,

وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).” (QS. Al-Ahzab: 6)

B. Allah juga memperbolehkan orang yang mengadopsi (ayah angkat) untuk menikahi istri anak angkatnya setelah dia menceraikannya. Sementara sebelumnya, hal itu diharamkan pada zaman Jahiliyah. Hal itu dimulai dari Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam agar penghalalannya lebih meyakinkan dan lebih tegas dalam menghapus budaya masyarakat Jahiliyah yang mengharamkan hal itu. Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian menikah dengan Zainab binti Jahsy dengan perintah Allah, setelah suaminya, Zaid bin Haritsah, menceraikannya.

4. Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa penghapusan sistem adopsi tidak berarti penghapusan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak Islam seperti persaudaraan, kasih sayang, silaturrahim, berbuat baik kepada sesama, dan semua hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kebaikan dan menjadi sumber inspirasi untuk berbuat baik.

A. Seseorang boleh memanggil orang yang lebih muda darinya dengan panggilan, “Wahai anakku,” sebagai ungkapan kasih sayang, menunjukkan rasa simpati, dan membuatnya merasa disayangi, agar anak itu akrab dengannya, mau mendengarkan nasihatnya, dan mau melakukan apa yang dia inginkan. Seseorang juga boleh memanggil orang yang lebih tua darinya dengan panggilan “Wahai bapakku,” sebagai bentuk penghormatan dan untuk mencuri simpatinya, agar dia mendapatkan kebaikan dan nasihatnya, dan agar dia menjadi penolongnya.

Di samping itu, untuk menumbuhkan etika di tengah-tengah masyarakat, memperkuat hubungan antar-anggota masyarakat, dan agar seluruh lapisan masyarakat merasakan persaudaraan yang sejati, baik dalam masalah kemanusiaan maupun agama. b. Syariah telah menganjurkan agar saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, dan menganjurkan kepada seluruh umat manusia agar saling menyayangi dan berbuat baik terhadap sesamanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maa-idah: 2)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda,

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam berkasih sayang, bermurah hati sesama lain, dan berempatinya adalah bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh mengeluh niscaya semua tubuh ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)

Beliau juga bersabda,

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا

“Seorang Mukmin bagi Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)

Contohnya adalah, mengurusi anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang tidak mampu bekerja, dan anak-anak yang ayahnya tidak diketahui, dengan cara memenuhi kebutuhan mereka, merawat mereka, dan berbuat baik kepada mereka sehingga dalam masyarakat tidak ada lagi orang yang menderita dan terlantar. Sebab, dikhawatirkan masyarakat akan merasakan momok buruknya perhatian, atau berontak karena merasa lingkungannya telah bersikap sadis dan menelantarkannya.

Permerintah-pemerintah Islam harus mendirikan panti jompo, anak-anak yatim, anak terlantar, anak-anak yang tidak memiliki keluarga lagi, dan yang lainnya. Jika dana dari Baitul Mal tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka, pemerintah dapat meminta bantuan kaum muslimin yang berkecukupan. Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

أيما مؤمن ترك مالا فليرثه عصبته من كانوا، ومن ترك دينا أو ضياعا فليأتني فأنا مولاه

“Siapa saja orang Mukmin wafat meninggalkan harta maka ashabahnya (ahli waris yang tidak mempunyai bagian yang tegas ditentukan oleh al-Quran dan teks agama lain) yang akan mewarisinya, siapapun mereka. Siapa saja yang maninggal dunia meninggalkan utang atau orang yang terlantar hendaklah dia datang kepadaku, karena aku penanggungjawab terhadapnya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari)

Dengan ini, fatwa telah ditanda tangani.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 53

Lainnya

Kirim Pertanyaan