Mempercepat Kematian Pasien Agar Tidak Terus Menderita

7 menit baca
Mempercepat Kematian Pasien Agar Tidak Terus Menderita
Mempercepat Kematian Pasien Agar Tidak Terus Menderita

Pertanyaan

Saya mohon kepada Anda fatwa mengenai masalah yang saya dengar langsung dari pasien saat melakukan praktik kedokteran, yaitu apakah pasien yang tidak mungkin sembuh dari sakitnya boleh meminta kematian? Apakah permintaannya boleh dipenuhi untuk meringankan sakit yang dideritanya? Ada orang yang mengatakan bahwa jika seseorang menderita penyakit kanker yang tidak mungkin disembuhkan, misalnya, maka sebaiknya ia memilih mati.

Bolehkah kita memenuhi permintaan pasien dengan mempercepat kematiannya untuk meringankan sakitnya yang berkepanjangan? Orang tersebut berbicara tentang buku yang berjudul “Al-Huquq” dan mengatakan bahwa seseorang berhak mengakhiri hidupnya apabila hidupnya menyakitkan dirinya dan orang lain. Apa pandangan Islam tentang hal itu? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baiknya.

Jawaban

Seorang pasien diharamkan untuk mempercepat kematiannya, baik dengan cara bunuh diri atau minum obat-obatan yang terlarang. Dokter, perawat atau lainnya juga haram memenuhi permintaan pasien meskipun kesembuhan penyakitnya tidak bisa diharapkan. Barangsiapa membantu mempercepat kematiannya, maka ia telah turut berbuat dosa bersamanya karena dia menjadi penyebab kematian jiwa seseorang secara sengaja tanpa alasan yang benar. Banyak dalil syar’i yang menjelaskan secara tegas keharaman membunuh jiwa tanpa sebab yang benar. Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am: 151)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(29) dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan berlaku aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisaa’: 29-30)

Selain itu, ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,

من قتل نفسه بحديدة فحديدته بيده يجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا، ومن شرب سمًّا فقتل نفسه فهو يتحساه في نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا، ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في نار جهنم خالدًا مخلدًا فيها أبدًا

“Barangsiapa melakukan bunuh diri dengan besi, maka besinya itu akan berada di tangannya dan senantiasa menusukkannya ke perutnya di neraka Jahanam untuk selamanya. Barangsiapa minum racun lalu ia melakukan bunuh diri dengannya, maka dia akan senantiasa meminumnya di neraka Jahanam untuk selamanya. Barangsiapa menghempaskan dirinya dari gunung dan bunuh diri, maka maka dia akan senantiasa terlempar di neraka Jahanam untuk selamanya.” (Muttafaq `Alaih)

Ada juga riwayat dari Abu Qilabah dari Tsabit bin adh-Dhahhak radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

من قتل نفسه بشيء عُذب به يوم القيامة

“Barangsiapa melakukan bunuh diri dengan sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan disiksa dengan sesuatu tersebut.” (HR. Jama’ah (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Ada pula riwayat dari Jundub bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

كان فيمن كان قبلكم رجل به جرح فجزع فأخذ سكينًا فحز بها يده فما رقأ الدم حتى مات، قال الله تعالى: بادرني عبدي بنفسه حرمت عليه الجنة

“Di dalam umat sebelum kalian terdapat seorang lelaki yang terluka. Karena tidak bersabar, dia mengambil sebilah pisau lalu mengiris tangannya. Darahnya terus mengalir hingga habis dan dia pun meninggal dunia. Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap dirinya sehingga Aku mengharamkannya surga.” (Muttafaq `Alaih dan redaksinya dari Bukhari)

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seseorang mengharapkan kematian karena kesulitan yang menimpanya, seperti hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لا يتمنين أحدكم الموت من ضر أصابه، فإن كان لا بد فاعلاً فليقل: اللهم أحيني ما كانت الحياة خيرًا لي، وتوفني إذا كانت الوفاة خيرًا لي

“Jangan sekali-kali seseorang dari kalian mengharapkan kematian karena kesulitan yang menimpanya. Apabila dia harus melakukannya, hendaklah dia mengucapkan, “Allahumma ahyini ma kanat al-hayatu khairan li, wa tawaffani idza kanat al-wafatu khairan li (Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu lebih baik untukku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku).” (HR. Bukhari dan Muslim dan redaksinya dari Bukhari)

Ada juga riwayat Bukhari dengan redaksi lain dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لا يتمنين أحدكم الموت إما محسنًا فلعله أن يزداد خيرًا، وإما مسيئًا فلعله أن يستعتب

“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian mengharapkan kematian. Jika dia orang yang baik, kemungkinan dia akan bertambah baik. Jika dia orang yang jahat, kemungkinan dia akan memohon rida Allah.”

Jika seseorang dilarang mengharapkan dan meminta kematian kepada Allah, maka orang yang melakukan bunuh diri atau membantu mempercepat kematiannya termasuk melanggar hukum dan larangan Allah karena hal itu menafikan kesabaran atas takdir Allah, menyalahi dan putus asa atas qada dan kadar Allah, dan mencemaskan kebijakan Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya dengan kebaikan dan keburukan. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ

“Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan.” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Terkadang Allah menguji hamba-Nya dengan suatu penyakit. Dialah Yang Maha Bijaksana atas perbuatan-Nya dan Maha Mengetahui apa yang baik bagi hamba-Nya sehingga hal itu menjadi tambahan kebaikan, pahala, kekuatan iman, dan semakin dekat kepada Allah dengan merendahkan diri, tawakal, dan berdoa kepada-Nya.

Oleh karena itu, apabila manusia menderita suatu penyakit, hendaklah ia mengharap pahala atas penyakit yang dideritanya dan bersabar atas musibah yang menimpanya karena salah satu bentuk kesabaran adalah sabar atas musibah supaya memperoleh rida Allah Subhanahu wa Ta’ala, pahala yang berlipat ganda, dan derajat yang tinggi di akhirat.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah riwayat Shuhaib radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

عجبت من أمر المؤمن، إن أمر المؤمن كله له خير وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن، إن أصابته سراء شكر فكان ذلك له خير، وإن أصابته ضراء فصبر فكان ذلك له خير

“Saya takjub dengan kondisi orang Mukmin. Semua kondisinya adalah baik baginya. Hal itu tidak berlaku bagi siapapun, kecuali bagi orang Mukmin. Jika mendapatkan kebaikan, maka dia bersyukur sehingga hal itu adalah baik baginya. Jika tertimpa kesulitan, maka dia bersabar sehingga hal itu adalah baik baginya.” (HR. Muslim dalam kitab Sahihnya dan Ahmad dalam Musnadnya dan redaksinya dari Ahmad)

Allah Ta`ala berfirman,

وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ

“Dan orang-orang yang bersabar terhadap apa yang menimpa mereka.” (QS. Al-Hajj: 35)

Dan Allah Ta`ala berfirman,

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

” dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar(155) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah akan kembali).” (QS. Al-Baqarah: 155-156)

Serta Allah Ta`ala berfirman,

وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ

“Lelaki dan perempuan yang bersabar.”

Sampai dengan firman-Nya,

أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzab: 35)

Ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu `anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قومًا ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط

“Besar pahala setimpal dengan besar cobaan. Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa rida, maka baginya rida (Allah). Barangsiapa murka, maka baginya pula murka (Allah).”

(HR. Tirmidzi dalam Kitab Jami’-nya dan dia mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib (yang hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi di salah satu rantai sanadnya).

Ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Mush`ab bin Sa’d dari bapaknya radhiyallahu `anhuma, ia berkata,

قلت: يا رسول الله: أي الناس أشد بلاء؟ قـال: الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل، يبتلى الرجل على حسب دينه، فإن كان في دينه صلابة شدد عليه في البلاء، وإن كان في دينه رقة ابتلي على حسب دينه، فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشي على الأرض ما عليه خطيئة

“Saya bertanya, “Rasulullah, siapakah orang yang cobaannya paling berat ?” Ia bersabda, “Para nabi kemudian orang-orang yang di bawahnya, kemudian orang-orang yang di bawahnya. Seorang hamba akan diuji sesuai dengan (kualitas) agamanya. Jika agamanya kokoh, maka dia akan mendapat ujian berat. Jika agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan kekuatan agamanya. Seorang hamba akan senantiasa ditimpa ujian hingga dia berjalan di atas bumi tanpa dosa sama sekali.” (HR. Tirmidzi dan dia mengatakan bahwa hadis ini hasan dan sahih)

Ada pula hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة في نفسه وولده وماله حتى يلقى الله وما عليه خطيئة

“Musibah terus menimpa seorang Mukmin lelaki dan Mukmin perempuan, baik pada dirinya, anaknya maupun hartanya, hingga dia berjumpa dengan Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Tirmidzi)

leh karena itu, seseorang yang ditimpa suatu penyakit haram melakukan bunuh diri karena kehidupannya bukanlah miliknya, melainkan milik Allah dan Dialah yang menentukan semua takdir dan ajal dan karena amal seseorang yang meninggal terputus dan kehidupan seorang mukmin diharapkan selalu bertambah baik.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa dia akan bertobat kepada Allah atas perbuatannya yang telah berlalu dan melakukan kebaikan-kebaikan seperti salat, puasa, zakat, haji, zikir, dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta membaca Al-Qur’an sehingga dengan amalan tersebut dia dapat naik derajat di sisi Allah dan orang yang sakit akan diberi pahala atas amalan yang biasa dilakukannya sewaktu sehat, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis-hadis sahih.

Adapun para dokter dan orang-orang yang memenuhi permintaan pasien untuk mempercepat dan membantu kematiannya, maka sesungguhnya mereka telah berbuat dosa dan berpandangan picik.

Hal itu menunjukkan kebodohan mereka karena mereka hanya melihat hakikat dan kelangsungan hidup manusia dari segi kekuatan fisik dan kekuasaan dan melakukan kejahatan dan sombong.

Tetapi tidak melihatnya dari sisi hidupnya yang selalu menjalin kontak dengan Tuhannya dan mengerjakan amalan-amalan yang baik, berhati lembut, merendahkan diri, dan tunduk di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga dia lebih dicintai dan dekat kepada Allah daripada orang yang sombong dan menggunakan kekuatan fisiknya dalam hal-hal yang dimurkai-Nya.

Perlu diingat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Maha Kuasa untuk menyembuhkan sakitnya. Penyakit yang saat ini tidak mungkin disembuhkan dalam pandangan manusia sangat mungkin di kemudian hari bisa dengan mudah disembuhkan dengan kekuasaan Allah yang tidak bisa dihalangi oleh apa pun di langit dan di bumi.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 19165

Lainnya

Kirim Pertanyaan