Melanggar Sumpah

1 menit baca
Melanggar Sumpah
Melanggar Sumpah

Pertanyaan

Di awal tahun 1986 Masehi, saya pernah meminang anak perempuan dari saudara perempuan ibu saya (sepupu). Saat itu ada perselisihan di antara kami tentang persoalan sepupu saya itu harus berdiam diri rumah karena, bagi kami, dia tidak perlu bekerja, alhamdulillah.

Ketika saya tidak setuju dan melarangnya untuk melanjutkan kuliah karena saya melihat kondisi perkuliahan yang penuh dengan kemungkaran dan interaksi yang bercampur baur di antara lawan jenis di negeri Maroko ini, ternyata saudara laki-laki kandung dari ibu saya (paman) mengangkat permasalahan baru.

Menurutnya, anaknya itu memiliki hubungan satu susuan dengan saya. Akhirnya, beberapa anggota keluarga datang dan bertanya kepada salah seorang ulama. Menurut ulama tersebut, tidak ada hubungan sesusuan antara saya dan sepupu. Selain itu, dia juga menasihati kami agar bertawakal kepada Allah.

Kemudian kami berdua sepakat untuk melangsungkan pernikahan dengan syarat paman saya itu harus meminta anaknya untuk berhenti kuliah. Akhirnya kami menyepakati hal itu secara bersama dan kami menentukan hari pelaksanaannya. Namun, tiba-tiba saat itu terjadi apa yang sama sekali tidak terduga dan hanya Allah yang mengetahuinya.

Ketika kami sudah sampai ke tahap pencatatan akad nikah, paman saya itu tiba-tiba berkata: “Syaikh, tulis dalam akad bahwa anak perempuan saya harus menyelesaikan kuliahnya.” Akhirnya ibu saya menentang hal itu seraya mengatakan: “Mana kesepakatan yang telah kita buat?” Paman menjawab: “Saya ingin anak saya menyelesaikan kuliahnya.” Di sinilah perselisihan terjadi sehingga kami membatalkan pencatatan akad pernikahan.

Setelah kami pulang ke rumah, terjadilah perdebatan antara paman saya dan anggota keluarganya yang lain tentang persoalan baru tersebut. Mereka bertanya: “Mengapa kamu selalu menentang pernikahan ini dengan berbagai alasan?” Dia menjawab: “Saya ingin masa depan anak saya terjamin.”

Kemudian salah seorang anaknya berkata: “Masa depan orang itu tergantung pada Allah. Jika dia ditakdirkan baik, maka masa depannya akan baik. Namun, jika jelek, maka masa depannya pasti jelek.” Akhirnya, paman saya menyesali tindakannya dan meminta maaf dan kami pun memaafkannya.

Dia berkata: “Besok pagi-pagi kita akan kembali pergi untuk mencatat akad pernikahan tanpa ada persyaratan lagi. Kamu bebas menentukan apa pun saat proses penikahan nanti.” Saya setuju dan mengatakan bahwa setelah pulang dari Kerajaan Arab Saudi saya akan melangsungkan pencatatan pernikahan tersebut berikut dengan proses pernikahan, insya Allah.

Syaikh Ibnu Baz yang terhormat, alasan saya untuk meminta tolong kepada Anda saat ini adalah ketika melakukan umrah, saya telah bersumpah untuk tidak memiliki istri yang bekerja sebagai pegawai yang bercampur baur dengan kaum lelaki. Kami sekeluarga sudah menentukan hari pernikahan tahun depan seusai pelaksanaan ibadah haji tahun 1408 Hijriyah.

Menjelang hari pelaksanaan, ternyata muncul lagi sebuah persoalan dari pihak sepupu. Dia memberitahukan lewat surat bahwa dirinya tetap akan melanjutkan kuliah dan akan bekerja di Kementerian Keadilan setelah mendapatkan gelar magister di bidang hukum.

Anda pasti sudah tahu bahwa undang-undang di Maroko adalah murni undang-undang positif buatan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat Allah. Syaikh Ibnu Baz yang terhormat, berikut pertanyaan-pertanyaan saya:

1. Apakah syariat Allah membolehkan wanita yang sudah menikah bekerja di luar rumah? Mohon disertai dengan penjelasan dalilnya.

2. Jika Allah memang membolehkan hal itu, maka apa nasihat Anda untuk sepupu saya itu: bekerja atau tidak?

3. Jika itu semua terjadi padahal saya tidak setuju dan saya mencabut janji saya kepada mereka, maka apakah saya termasuk orang munafik atau terkena kafarat (denda) sumpah?

4. Jika kami betul-betul menikah dan sepupu saya itu bekerja di salah satu kepegawaian hukum, maka apakah saya wajib membayar kafarat sumpah yang saya ucapkan di Masjid Haram dulu?

Syaikh Ibnu Baz yang terhormat, saya berharap semoga Anda menjadi pedoman yang akan menyinari jalan umat menuju kebaikan, insya Allah, dan melenyapkan kegelapan dan kebodohan dengan ajaran agama kita. Mohon penjelasannya dalam hal ini. Semoga Allah memberikan balasan terbaik kepada Anda.

Jawaban

Pertama, jika akad pernikahan kalian berdua sudah selesai dilaksanakan lalu istri Anda itu bekerja di tempat kaum lelaki, maka Anda wajib membayar kafarat sumpah karena Anda telah melanggarnya.

Kafarat tersebut adalah memberi makan sepuluh orang miskin, memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang budak yang beriman. Namun, jika tidak bisa mendapatkan budak, maka Anda harus berpuasa selama tiga hari.

Kedua, jika Anda menolak akad nikah dengan sepupu tersebut karena dia bekerja di tempat kaum lelaki, maka Anda tidak terkena sanksi apa pun karena Anda tidak menetapi perjanjian dengan alasan syar’i.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Salah satu lajnah ilmiah terkemuka di era sekarang ini, terdiri dari elit ulama senior di Arab Saudi, memiliki kredibilitas tinggi di bidang ilmiah dan keislaman.

Rujukan : Fatwa Nomor 11157

Lainnya

Kirim Pertanyaan